"Habsyi!!!!"
"Abah?"
Didepan pintu kelas terlihat abah yai tengah memandangi mereka berdua dengan tatapan yang dingin.
"Melu aku sek"
Gus Habsyi bangkit dari duduknya, lalu mengekori abah yai yang tadi memanggilnya. Abah yai terus saja berjalan, hingga ketika sampai digazebo, abah yai meminta Gus Habsyi untuk duduk.
"Habsyi, ngapain kamu berduaan sama Laila?"
"Loh, Habsyi mboten macem macem kok bah, Habsyi ngobrol mawon, itupun hanya sebentar"
"Tapi kamu sadar kan, dia itu bukan mahrom kamu"
"Tapi kan sampun tunangan bah"
"kalian tunangan, tapi durung akad.. Otomatis tidak ada ikatan apapun diantara kalian, agama sangat sangat mengharamkan.. Ojok sampek gara gara cinta, samean malah menghalalkan segala cara untuk berinteraksi dengannya"
"Terus dospundi bah, kulo remen sanget"
"Yo kan iso ditahan nak.. Itu nafsu namanya.. Nek samean wes nikah, terserah Laila mau kamu apakan, asal jangan disakiti. Samean itu disini putranya abah, jangan sampai samean jadi contoh yang tidak baik bagi para santri"
"Inggih bah, ngapunten.. Terus kapan Habsyi nikah abah?"
Pada dasarnya, Abah yai adalah sosok yang tak banyak bicara, pendiam, dingin. Tapi jika menghadapi Gus Habsyi, Beliau jadi harus mengeluarkan banyak kata, abah yai agak kewalahan jika menghadapi sifat anaknya yang satu ini, Gus Habsyi memang sudah besar, tapi sifatnya cenderung kekanakan. Jika Gus Habsyi menyukai sesuatu, maka Beliau akan sangat suka, dan tidak mau yang lainnya. Dan jika Beliau sudah menginginkan sesuatu, maka harus didapatkan, Sifat Beliau sangat mewarisi sifat bunyai.
"Kamu ndak nunggu mas mu dulu kah?"
"Bah.. Mas kayak e nggak minat nikah bah"
"Yawes, nanti tak tanya dulu sama dia.. Mumpung dia pulang"
*
*
Abah yai menghampiri bunyai Di kamar ndalem, Beliau hendak memperbincangkan pernikahan Habsyi dan Laila."Asline kulo mboten masalah bah, sekalipun Habsyi mau nikah sekarang. Yang jadi masalah, Zein belum nikah, calonnya aja belum punya, kan ngelangkahi bah"
"Asline sah sah saja, cuma pandangan masyarakat iki loh.. "
"Coba panggil Zein mawon nggeh"
Bunyai memanggil seseorang bernama Zein itu dikamar atas, satu menit kemudian, bunyai kembali dengan diikuti pemuda yang berperawakan mirip Gus Habsyi, namun postur tubuhnya lebih tinggi.
"Zein duduk sini dulu nak"
Ya.. Gus Muhammad Zein Alawi Al Habsyi adalah anak sulung Abahyai Abdulloh Habsyi, dan ibunyai Aisyah, kakak dari Gus Muhammad Habsyi Al Farisi.
"Wonten nopo mik"
"Nak, opo samean tasek pingin Khidmah neng Sarang?", ucap bunyai lembut.
"Inggih mik"
"Opo samean nggak kepikiran nikah nak?"
Gus Zein terdiam. Namun setelah itu menjawab.
"Dereng mik"
Bunyai, merasa heran dengan perbedaan sifat kakak beradik ini, yang kakaknya belum kepikiran nikah, tapi adiknya malah ngebet.
"Tapi nek seandainya abah karo umik pinginnya samean nikah gimana?", Ucap bunyai dengan sangat hati hati.
"Nggeh, sak kersane njenengan.. Tapi kulo tasek dereng remen sinten²"
Abahyai dan bunyai sangat lega, ketika mendengar Gus Zein seakan memberi lampu hijau dengan pendapat mereka.
"Nek seandainya dijodohkan?"
"Kulo nderek abah umik mawon"
Lagi lagi jawaban Gus Zein membuat abahyai dan bunyai lega. Dari kecil, Gus Zein memang berwatak penurut, dan tak pernah mau membantah, selalu pasrah dengan pilihan orang tua.
"Nak, Habsyi sekarang wes tunangan"
"Loh, adek tunangan mik?"
"Iya, dan dia meminta nikahnya dalam waktu dekat iki, nek samean siap, umik karo abah pengennya kalian nikah bareng"
"Mm.. Seng niki kulo kirang setuju mik, kulo teng pondok tasek dereng mantun tugase, mungkin satu tahun lagi"
Untuk pertama kalinya, Gus Zein menolak pendapat orang tuanya, beliau merasa masih punya tanggungan dipondok.
"Terus masak samean dilangkahi adiknya nak?"
"Mboten nopo'o mik, menawi adek pancen kerso nikah, kulo mboten nopo nopo"
Abahyai dan bunyai hanya tersenyum mendengar ucapan anak sulungnya ini, sebenarnya mereka tak tega, tapi bagaimana lagi? Kedua putranya memiliki pemikiran yang amat berbeda.
"Mik, mangke dalu kulo bangsul"
"Iya nak, tapi bentar dulu.. Umik mau tanya"
"Monggo umik"
"Seandainya samean tak jodohke karo santri kene dewe, piye?"
Gus Zein terdiam, hendak memikirkan kembali, karna Beliau tidak tau siapa yang hendak dipilih bunyai sebagai calon istrinya. Tapi lagi lagi Beliau berfikir kalau pilihan orang tua selalu yang terbaik.
"Kulo nderek mawon umik..
Umik abah, kulo bade teng kamar rumiyin"Bunyai menganggukkan kepala. Gus Zein pun beranjak dari kamar bunyai dan abahyai menuju kamarnya sendiri.
Ketika berjalan menuju kamar, Beliau tak sengaja bertemu Hanna yang hendak sowan ke bunyai. Mereka saling bertemu pandang, hanya sebentar. Lalu Gus Zein masuk ke kamarnya.( Siapa dia? Wajahnya tak asing, tapi pernah bertemu dimana? )
Hanna menerka.
KAMU SEDANG MEMBACA
TANDA CINTA BUNYAI
Short StoryKisah ini menceritakan tentang kisah seorang santri bernama Hanna yang mengagumi Gusnya. Namun apalah daya, kekaguman, bahkan rasa cintanya terpaksa harus dibuang jauh jauh ketika tahu jika ternyata Gusnya diam diam menyukai Sahabat karib Hanna sen...