"Tin tin"
Suara klakson mobil mengejutkan Hanna yang sedang tertidur dengan posisi duduk berbantalkan lengan disisi ranjangnya.
Dia lantas memeriksa dari balkon siapa yang datang sore ini.
"Bunyai"
Hanna cepat cepat ke lantai bawah, meninggalkan Gus Zein yang tengah tertidur, menemui bunyai, sekaligus mertuanya itu.
"Assalamualaikum"
"Wa'alaikumussalam, umik.. Kale sinten"
"Sama abahnya, itu ada dipondok. Suamimu katanya ke Sarang? Wes mulih?"
"Sampun umik"
"Sekarang kemana?"
"Lagi sakit umik, wau dalu kehujanan.. Jadi sekarang demam"
"Loh, demam.. Umik pingin liat"
Bunyai dan Hanna menuju kamar untuk melihat kondisi Gus Zein.
Beliau mendekati Gus Zein yang tengah tertidur, wajahnya terlihat sangat pucat.
Kemudian bunyai mencoba menyentuh kening putra sulungnya itu.
"Panas.. Zein ini dari dulu emang nggak tahan air hujan, sekali kehujaan langsung langsung sakit"
"Ngoten nggeh mik, terus obatnya nopo mik"
"Sini sini"
Bunyai mendekatkan wajahnya ke arah telinga Hanna, kemudian membisikkan sesuatu.
"Hah? Saestu umik?"
Bunyai mengangguk, kemudian mengajak Hanna kedapur.
"Aslinya Zein Gak suka banget sama yang namanya kunyit.. Tapi gapapa wes, mungkin nek kamu yang maksa, dia langsung mau"
Bunyai mengupas dua buah kunyit, kemudian meminta Hanna untuk memarutnya.
"Aku tak minta ambilin obat itu ke anak santri sek ya"
"Inggih umik"
Hanna berkidik ngeri, membayangkan obat yang nanti akan dimasukkan kedalam jamu kunyit itu.
Tak lama kemudian bunyai kembali kedapur.
"Pundi umik?"
"Sek diambilin sama Umar"
Setelah selesai diparut, bunyai memeras sari kunyit itu kedalam gelas berukuran sedang.
( Beliau ini bunyai, tapi juga tidak kaku dengan pekerjaan dapur,.. Hmmm.. ingin seperti beliau )
"Nuwun sewu, niki"
"Matur nuwun ya Mar"
Umar menyerahkan mangkok berisi cacing cacing tanah yang menggliat mencari jalan keluar.
Hanna ingin muntah melihat hewan melata itu, dia tidak bisa membayangkan jika Gus Zein akan memakan hewan tak bertulang itu.
"Mundut teng pundi niku umik?"
"Dipohon pisang belakang pondok banyak nduk"
Kemudian bunyai membawa Cacing itu ke kran cucian piring dan mencucinya. Entah diapakan cacing cacing malang itu. Lantas bunyai memasukkannya kedalam ramuan jamu kunyit yang tadi sudah diproses.
"Hanna.. Ini kasihkan suamimu ya.. Umik mau pulang, wes hampir maghrib soalnya"
"Inggih umik"
*
*
Setelah maghrib, Hanna memberikan ramuan buatan bunyai yang tadi masih disimpan didalam kulkas. Gus Zein hendak menolak, tapi kalah dengan paksaan Hanna."Biar cepet sembuh gus"
Gus Zein meminum satu teguk, lalu menaruhnya dinakas. Ekspresinya benar benar tak bisa digambarkan, Beliau seperti orang yang tengah memakan jeruk nipis.
"Puait banget Hanna"
Ucap Gus Zein dengan kedua mata melek separuh.
"Dihabisin nggeh Gus, kresane ndang sehat"
Gus Zein terpaksa menurut, Beliau nekad meminum jamu itu hingga tandas, dengan ekspresi yang sudah tak bisa dideskripsikan lagi, saking pahitnya.
"Air putih Hanna"
Ucapnya sembari tangan kiri menutup mulutnya, dan tangan satunya lagi mengepak ngepak, seperti orang yang hendak meminta sesuatu.
Dengan cepat Hanna mengambilkan air putih yang posisinya agak jauh dari keberadaan Gus Zein.
Setelah meminum air putih, Gus zein seperti orang yang menemukan danau ditengah gurun pasir, sangat lega.
"Pun nggeh, njenengan bubuk riyen"..
KAMU SEDANG MEMBACA
TANDA CINTA BUNYAI
Short StoryKisah ini menceritakan tentang kisah seorang santri bernama Hanna yang mengagumi Gusnya. Namun apalah daya, kekaguman, bahkan rasa cintanya terpaksa harus dibuang jauh jauh ketika tahu jika ternyata Gusnya diam diam menyukai Sahabat karib Hanna sen...