Tinggal Sesal

1.8K 77 0
                                    

"Ya Allah.. Hanna, kemana kamu?"

Gus Zein telah mencari dimana pun tempat yang Beliau tau, rumah bibinya, dimakam umminya Hanna, dipondok. Tapi nihil, Hanna tidak meninggalkan jejak sama sekali.

Gus Zein memukul setir mobilnya, sembari mengutuk dirinya sendiri.

"Hanna, ma'afkan aku Hanna.. Ma'af.. "

Air matanya mengalir, air mata penyesalan yang lolos begitu saja dari kedua matanya.

"Ya Allah, ma'afkan aku yang lagi lagi mengingkari janji untuk menjaga Hanna, bahkan aku mengingkari janji untuk tak menyakitinya"

Mobil milik abahyai yang dikendarainya terus berjalan tanpa arah, Beliau tak tau lagi harus mencari Hanna kemana.

Akhirnya Beliau memutuskan pulang kerumahnya sendiri.

Kakinya menaiki tangga dengan langkah yang gontai. Memasuki kamarnya, Beliau memandangi langit kamarnya, kamar yang menjadi saksi cinta mereka, sekaligus saksi talak satu yang secara tidak langsung Gus Zein lontarkan tadi siang.

Yaa.. Gus Zein memang tak mengucapkan talak, tapi secara isyarat, Beliau telah menjatuhkan talak.

"Ya Allah.. Kenapa cinta ini begitu membutakan hatiku.. Kenapa Ya Allah.. Kenapa aku begitu bodoh"

Beliau memandang Qur'an berwana biru milik Hanna yang tergeletak diatas nakas. Beliau membuka lembar demi lembar kertas berisi ayat ayat Al Qur'an itu.

Kemudian beliau menemukan secarik kertas yang berisi tulisan kecilnya.

( Pokoknya kudu khatam, gapapa umi abi gak menjadi saksi..

  Sekarang aku udah punya Gus Zein, yang akan jadi saksi khatamku kelak..

Beliau berjanji akan membantu proses menghafalku, menjagaku, dan menjaga Al Qur'an ku..

Semangat.. Pokoknya semangat! )

Tulisan kecil berisi motivasi terhadap diri sendiri itu sukses membuat Gus Zein menangis.

"Ma'afkan aku Hanna.. Aku suami yang tak becus.. Aku egois.. Kenapa aku tak mendengar penjelasanmu"

"Harusnya sekarang kau sudah menambah hafalanmu, tapi... Akh ya Allah.. Kenapa aku bodoh sekali"

Didalam kereta api, Hanna meratapi dirinya sendiri, matanya begitu sembab.

"Baru saja aku mendapat kebahagiaan, dan lagi lagi kebahagiaan itu hancur..
Ummii.. Abii.. Sampai kapan hidupku seperti ini?"

Hingga ketika dia Sampai disuatu stasiun, dia turun, dia hanya membawa tas berisi dompet, dan hape yang tak berkuota.

Kemudian dia mencari desa yang hendak dikunjunginya. Desanya bibi Khodijah, kakak dari umminya.

Setelah beberapa menit, ojek pun sampai ditempat yang dimaksud oleh Hanna.

"Assalamualaikum"

Bibinya membukakan pintu itu.

"Wa'alaikumussalam..  Hanna..  Ya Allah, apa kabarmu ndukk, tumben"

"Inggih bude, aku punya masalah dirumah tangga.. Jadi aku kesini.. Soalnya mau kerumah budde Fatimah sungkan, gak pingin ngrepotin lagi"

"Rumah tangga? Kamu udah nikah nak? Kenapa nggak ngundang?"

"Nikahnya emang nggak melibatkan siapapun budde, hanya keluarga ndalem"

"Loh.. Keluarga suamimu?"

"Keluarga ndalem"

"Loh. Kamu dapat suami gus e toh nak?"

"Inggih bude"

"Terus sekarang?"

  Hanna menceritakan seluruh peristiwa yang menimpa dirinya. Sangat rinci.

"Kasihan sekali toh nduk, tau gitu kamu disini aja.. Tak pondokno aku dulu"

"Mau gimana lagi budde, sudah takdirnya Hanna, Hanna mau kesini juga harus mikir dua kali. Kiriman Hanna aja telat telat pas lagi dipondok"

"Gimana toh suamimu itu, gak dengerin penjelasan kamu dulu"

"Ya.. Sepertinya Beliau kepalang cemburu budde.. Tak apalah.. Saya ikhlas budde, kalo ini memang takdir saya.. Sampun nggeh budde, Saya pingin tidur"

Bibi Khodijah menatap iba wajah Hanna yang terlihat begitu lesu itu, wajahnya macam tak menemukan kebahagiaan yang selama ini dia cari cari.

"Teng pundi kamarnya budde"

"Yang sebelah timur Hanna"

Hanna berjalan gontai menuju kamarnya, lalu merebahkan bobotnya yang benar benar lelah, bukan hanya dzohirnya, tapi juga batinnya.

"Ya Allah.. Aku sudah pasrah dengan alur hidup yang aku jalani..

Masih kecil ditinggal orang tua,

Hidup dirumah bibi, diperlakukan seperti pembantu,

Berada dipondok dibenci teman,

Mencintai seseorang, tapi tak ditakdirkan untukku..

Ku kira menikah adalah awal dari kebahagiaan..
Nyatanya aku salah, bahkan suamiku sendiri, ahhh.. sepertinya lebih pantas disebut Mantan suami.. Dia menganggapku sebagai jalang? ..

Lalu kebahagiaan mana lagi yang kutunggu?..
Sebelum menikah? Setelah menikah?..

Tidak ada..

Jika saja boleh memilih, aku akan memilih dilahirkan bahagia, atau tidak dilahirkan sama sekali.

Ya Allah.. Kenapa takdirku se menyakitkan ini?

Lalu siapa lagi yang pantas aku jadikan alasan untuk berbahagia?

Ya Allah, aku pasrah.. Aku sandarkan sepenuhnya hidupku padamu..
  Mengeluh pun tak akan merubah nasib..
  Menangis pun tak mampu merayu takdir..

Aku ikhlas ya Allah, aku ikhlas"

Hanna bergumam sendiri, meratapi nasibnya yang terasa menyakitkan.

Air matanya sudah kering, sudah terlalu sering dia menangis. pikirannya benar benar buntu.

TANDA CINTA BUNYAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang