Jangan Katakan lagi

2.1K 79 0
                                    


Hanna tak kunjung sadar, dia benar-benar lemah. Ketika Bunyai rawuh, Laila kembali ke pondok, dan Bunyai yang mengganti menjaga Hanna. Disitu juga ada Gus Habsyi.

"Umik.."

"Iya nak"

"Seandainya aku nikah gimana?"

"Hah? Kamu wes kepikiran nikah toh nak?"

"Kan kulo pun berumur toh mik?"

"Bukan begitu, tapi mas mu masih khidmah loh di Sarang, dia saja belum nikah"

"Ya gimana mik, Habsyi yawes selesai sekolahnya, yawes mboten pingin mondok, nganggur banget dirumah"

"Hmmm.. yaudah, nek itu pilihan kamu,."

Bunyai kemudian menoleh ke arah Hanna yang terbaring lemah.

" Habsyi, umik kasihan sama Hanna, dia yatim piatu.. dia yawes beberapa tahun ngabdi disini, kiranya samean nikah sama Hanna gimana?"

"Hah?? Mboten mik, Hanna bukan gadis pilihan Habsyi "

"Loh, Hanna sae banget loh nak, aku eman karo de'e"

"Mboten mik, tapi kulo nggada pilihan pyambek"

"Sejak kapan samean mulai mencintai perempuan nak?"

"Sejak lama mik, kulo demen lare niku"

"Sopo?"

"Laila"

Bunyai menghembuskan nafasnya, dengan kedua alis yang bertaut.

"Kamu serius mau nikah nak? "

"Inggih mik"

"Ngelangkahi masmu? "

"Dari pada kulo zina mata terus mik, gara gara mandangin Laila terus? "

Sebenarnya bunyai kurang setuju dengan pilihan Gus Habsyi, tapi Gus Habsyi ada benarnya, beliau tak boleh terus terusan zina mata

"Yawes, nek pancen iku pilihanmu, aku tak ngomong nang abah"

Senyum Gus Habsyi mengembang ketika mendengar restu itu.
Bunyai maupun Gus Habsyi tidak menyadari, jika Hanna dari tadi telah sadar, namun masih memejamkan mata. Hanna tak sengaja mendengar semua percakapan Bunyai dan Gus Habsyi.

( Ya Allah, kenapa sesakit ini.. kenapa sehancur ini..
Kuatkan hamba ya Allah, ini terlalu sakit )

Pelan pelan, bulir bening mengenai kerudung sorbannya, dia benar-benar rapuh mendengar semua ini. Sahabatnya? Sahabatnya akan menjadi isteri dari sang pujaan hati. Mungkin tak akan sesakit ini jika yang dinikahi adalah orang lain.

"Hanna?"

Panggil Bunyai, ketika menyadari jika Hanna menangis. Pelan pelan Hanna membuka mata menatap sekeliling, dia baru menyadari jika ini kamar yang pernah ia bersihkan saat itu.

"Sudah siuman nak, kok nanges?"

"Ngapunten bunyai, dalem kepingin bangsul teng kamar mawon"

"Samean masih lemes nduk, jangan dulu ya, samean disini saja biar kuat dulu tubuhnya"

Hanna patuh saja, walaupun dia merasa tidak enak, namun menurutnya ini adalah titah.

"Hallo"

Gus Habsyi terlihat sedang menerima telepon, kemudian dia mengangkat teleponnya keluar dari kamar. Kini tinggallah Bunyai dan Hanna berdua.

"Hanna, Habsyi berniat nikah karo Laila, kamu tau Laila kan? Menurutmu, Laila piye arek'e?"

"Inggih bunyai, Laila meniko sahabat karib dalem, Laila sae sanget larene, berprestasi pindah"

"Alhamdulillah, nek Laila konco cidek samean, aku yakin.. dia baik sama sepertimu"

Hanna tersenyum kecut mendengar penuturan Bunyai, padahal dia benar-benar sakit mendengar semua ini.

***
"Han.. Hann.. kamu tau gak.. Jare ayah, abahyai tadi malem nang omah Han.. Gus Habsyi khitbah aku, aku gak nyangka banget loh.. "

Hati Hanna seakan jatuh mendengar berita ini, namun dia berusaha terlihat tegar agar Laila tak curiga dengan perasaannya.

"0h yaaa, wiiihh.. Beruntung banget toh sahabatku iki"

"Iya banget Han, aku nggak nyangka loh, Gus Habsyi demen karo aku, soale biasanya yaaa.. Terkesan biasa aja gitu"

Laila begitu excited menceritakan khitbahnya tadi malam, dia tidak menyadari, jika saat ini Hanna sangat sangat sakit mendengarkan beritanya ini.

"Selamat ya, calon ning"

"Iiih.. Jangan gitu dong.. kita sama sama santri kok"

( Kita beda Laila, kamu santri yang beruntung, tapi aku nggak) Hanna bergumam.

"Serius loh, aku malah moyok i samean karo Gus Habsyi biasane.. Kan?, aku gak pernah berfikir lebih tentang Gus Habsyi, bener bener nggak nyangka.. "

( Wes toh Lel, aku nggak kuat dengerin ceritamu, jangan diterusin ) Batin Hanna.

" Emm.. Lel, aku tak ke Kamar mandi dulu ya, kebelet"

"Oo, iya Han"

Hanna pun berlari menuju kamar mandi, dan mengunci pintunya. Dia menangis sejadi jadinya, Dia benar² hancur.

"Ya Allah, kenapa kau ambil orang orang yang aku cintai, kenapa? Mulai dari umi, abi, dan Sekarang.. Gus Habsyi.. Apa aku tak berhak bahagia ya Allah.?? Ma'afkan aku yang menuntut kebahagiaan ini Ya Allah.. Kuatkan Hamba."

Setelah keluar dari kamar mandi, dia beralih menuju loteng seperti biasa, mengaji, menatap langit yang sekarang terlihat cerah, tak seperti hatinya yang seakan redup tak bercahaya.

"Wallatii ahshonat farjaha fanafakhnaa fiihaa mirruhina wa ja'alnahaa wabnahaa ayatal lil 'alamiin"

Hanna membaca dengan lantang, ayat-ayat ziyadah yang hendak disetorkan nanti sore. Yaa,
Hanna masih belum khatam, dia masih sampai di juz 17. Lain dengan Laila, walaupun usianya terpaut 2 tahun lebih muda dari Hanna, tapi karna kecerdasannya, dia mampu mengkhatamkan Al Qurannya dalam waktu yang singkat.

TANDA CINTA BUNYAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang