Didapur Ndalem, Hanna mencari 2 mangkok untuk bakso yang dipegangnya saat ini. Setelah mendapatkannya, Hanna mencari keberadaan bunyai, setelah memastikan dilantai bawah tidak ada siapa siapa, Hanna hendak mencari bunyai di lantai atas, melewati anak tangga yang berada diruang tengah.
Dilantai atas, terlihat Gus Habsyi tengah sibuk dengan gawainya, Hanna yang terburu buru tak menyadari itu, hingga mereka tak sangaja bertabrakan."Allahu akbar!!", pekik Hanna
"Hanna, kamu nggak apa apa? "
"Mboten nopo nopo gus, "
"Mau kemana? Kok lari lari? "
"Bade madhosi bunyai gus"
"Oh.. Ummi balkon belakang"
"Matur nuwun gus"
Setelah mengucapkan itu, Hanna hendak menuju balkon, namun dicegat oleh Gus Habsyi.
"Ehhh.. Han, nanti diacara nikahanku sama Laila, samean yang ngisi tilawahnya ya"
"Insyaa Allah gus"
Seketika hatinya kembali runtuh, dia tak sanggup mendengar semua tentang pernikahan Gus Habsyi dan Laila.
( Ya Allah, kenapa harus selalu dihadapkan dengan situasi seperti ini? )
Hanna kembali melanjutkan langkahnya menuju balkon.
"Nuwun sewu, niki baksonipun panjenengan"
"Ohh, iya.. Ayok, maem disini aja barengan"
Bunyai mengajak Hanna makan di balkon. Hanna pun hanya mematuhi titah bunyai, dengan ikut memakan bakso itu.
"Baksone pak Kardi iki terkenal wenak pancen, warunge ae wes berjalan lebih 9 tahun, seleraku banget iki"
"Inggih bunyai,"
"Aku pernah tuku bakso, pas teko ngaji,. Udan udan karo abahe, berhenti pinggir jalan, baksone asiiiiin banget Han, regane larang banget sisan, nggak cocok blas aku"
Hanna hanya meng-Inggih ucapan bunyai, karna memang tak tau harus menjawab apa. Yaa.. Beginilah, bunyai sudah cocok banget dengan Hanna, hingga kasih sayangnya lebih, dibanding ke santri lainnya.
Setelah selesai memakan baksonya, Hanna memantapkan diri untuk matur terhadap bunyai.
( Bismillah )
"Nga.. "
Belum sempat Hanna berbicara, bunyai sudah mempunyai topik lain yang membuat Hanna lagi lagi urung mengatakan.
"Oohhh.. Iya nduk, jubahku yang warna ungu mentah, wingi sore kecantol pager, kira kira bisa dijahit ndak yo.. Aku eman banget soale.. Samean bisa jahit kan? "
"Inggih, dalem tingali rumiyin robekane seberapa besar"
"Ohh.. Iya, ayo melu aku"
Bunyai berjalan menuju kekamar, diikuti Hanna dibelakangnya. Kemudian bunyai mencari baju robek yang dimaksud.
"Iki Han, dibagian pinggange seng robek"
"Inggih bunyai, tasek saget"
"Iya wes, samean jahit dek kene wes yah, abahyai lagi dipondok Induk kok.. Aku tak sholat dhuha dulu"
"Inggih bunyai"
Hanna memulai aktivitas menjahitnya, tangannya yang sudah terbiasa dengan berbagai macam pekerjaan, sangat lihai mengaitkan benang benang itu dengan jarum.
Tak butuh waktu lama, proses menjahitnya telah selesai dilaksanakan."Alhamdulillah"
Setelah selesai, Hanna kembali memikirkan cara matur ke bunyai. Dia benar benar bingung, disisi lain, bunyai begitu perhatian terhadapnya, begitu sayang terhadapnya, tapi dia juga tak boleh egois dengan kondisi ekonomi bibinya.
"Wes mari?"
Suara bunyai membuyarkan lamunan Hanna.
"Inggih sampun bunyai"
"Ooh iyo wes"
Bunyai mengambil jubah yang sudah dilipat rapi oleh Hanna. Kemudian ditaruh kembali ke lemari. Bunyai terlihat mengambil satu jubah lagi.
"Ki loh Han, aku nduwe jubah, rodok cingkrang neng aku, cilik yoan.. sek anyar asline, kayak e seddeng nang samean, jal samean coba, nek seddeng ambilen"
Bunyai memperlihatkan jubah model noni belanda berwarna merah maroon, berbahan katun, dihiasi pernik emas dibagian pergelangan dan pinggangnya, menambah kesan mewah pada jubah itu. Hanna mencoba memakainya. Dan benar saja, jubah itu sangat pas ditubuh Hanna, ditambah kerudung Hanna yang kebetulan berwarna kuning keemasan, menjadikannya terlihat sangat cantik saat ini.
"Maa Syaa Allah, duuh.. Ayunee, yawes, samean ambil, cocok banget iki"
"Matur nuwun ingkang sanget bunyai"
"Iyo"
Nyali Hanna semakin ciut ketika lagi lagi, bunyai menunjukkan kasih sayangnya terhadap Hanna, Hanna semakin tak bisa untuk berpamitan. Kasih sayangnya sudah seperti ke anak sendiri.
Hanna Akhirnya mengurungkan niatnya untuk berpamitan hari ini.*
*Diruangan kelas tsanawiyah, Laila duduk sendirian, berkutat dengan kitab kitabnya, karna ajang lomba kitab yang akan diadakan bulan depan, Laila mantap mempelajari lebih dalam ilmu pada bidangnya itu.
"Assalamualaikum"
Ucap seseorang yang tak lain adalah Gus Habsyi, Beliau memasuki ruangan yang sama dengan Laila. Laila pun menghentikan aktivitasnya."Wa'alaikumussalam, gus"
"Laila, tumben nggak sama Hanna?"
"Mboten gus, Hanna lagi nderres kadose"
Gus Habsyi tak tau harus memulai percakapan dari mana sekarang, dia sangat canggung berhadapan dengan perempuan yang saat ini sudah disebut "calon istri" itu.
"Laila"
"Inggih gus"
"Kamu tau gak, ada berapa bintang dilangit?"
"Mboten semerrap gus"
"Sama, aku juga ga tau"
"Lah, terus gus?"
Gus Habsyi benar benar gerogi berhadapan dengan Laila, Beliau ingin merayu, tapi entahlah.. Jiwa gombalnya kalah dengan geroginya, kata kata untuk Laila yang biasa ditulis diatas kertas, malah tak bisa diungkapkan sama sekali.
"Hallah.. Mbuh wes, rencananya aku pengen gombalin kamu, biar keliatan romantis gitu sama calon istri, tapi kata kata romantisnya malah ilang semua"
Laila menahan tawa mendengar penuturan Gus Habsyi, bukan terbuai, malah merasa lucu dengan ucapan laki laki dihadapannya ini.
"Mboten nopo gus, mboten perlu romantis, tingkah lucu njenengan mawon pun ndamel dalem remen"
"Kok malah aku toh, seng baper karo omongan samean"
"Yaa.. Kan kadang, yang romantis pun kalah dengan yang humoris"
"Iso ae toh samean iki?, pinter banget, mangkane aku seneng"
"Emang gus remen dalem mulai kapan? "
"Wes suwe banget, malah pertama ketemu, langsung kecantol"
Laila tersenyum mendengar ucapan Gus Habsyi.
"Habsyi!!!!"
"Abah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
TANDA CINTA BUNYAI
Short StoryKisah ini menceritakan tentang kisah seorang santri bernama Hanna yang mengagumi Gusnya. Namun apalah daya, kekaguman, bahkan rasa cintanya terpaksa harus dibuang jauh jauh ketika tahu jika ternyata Gusnya diam diam menyukai Sahabat karib Hanna sen...