Masih saja seperti ini

1.9K 76 0
                                    

Setelah subuh Hanna memasak didapur. Seperti biasa, dia akan ditemani oleh Gus Zein, Tapi suasana hari ini benar benar berbeda, Hanna tak bawel seperti biasanya. Dia hanya berbicara sesuatu yang menurutnya penting.

"Hanna?"

"Dalem?"

"Kamu marah sama aku"

"Hah, mboten gus"

"Sakitkah?"

"Mmm.. Mboten"

Gus Zein merasa heran dengan perubahan Sikap Hanna yang terkesan dingin pagi ini. Beliau kemudian menghampiri Hanna yang tengah mengupas bawang, dan mengecek suhu badan Hanna dikeningnya.

"Kulo mboten sakit gus"

Ucapnya menoleh kearah Gus Zein yang terlihat khawatir.

"Gus?"

"Hmm?"

"Emm.. Kapan wangsul teng ndalem pondok induk?"

"Samean ndak kerasan disini toh?"

"Kraos gus, cuma luwih kraos ten mriko"

Pada dasarnya Hanna hanya beralasan, dia hanya tak ingin serumah dengan Gus Habsyi yang terus saja mengganggu fikirannya.

"Baiklah.. Nanti aku bicarakan sama umik"

"Matur nuwun gus"

Gus Zein beranjak dari tempatnya, menghampiri bunyai yang ada didepan tv.

"Umik.. Nek seandainya kulo pulang ke pondok induk gimana mik"

"Memang aslinya pondok induk mau aku serahkan sama samean nak, biar sameaan yang ngurus pondok. Cuma dulu umik belum siap pisah sama samean. Tapi Kalau emang samean mau pulang ke situ sekarang, juga ngga apa apa"

"Hmm.. Seandainya kulo pindah nanti malam dospundi umik?"

"Iya nggapapa nak"

"Abah dospundi?"

"Abah nopo tirose umik"

*
*
Gus Zein dan Hanna mengemasi barang barang yang hendak dibawa ke ndalem pondok induk. Karna belum mempunyai mobil sendiri, Gus Zein membawa motor geddenya untuk dibawa ke pondok induk.

"Nak hati hati ya.. Jogo bojomu, Selamat menempuh hidup yang sesungguhnya"

"Inggih umik, pangestune"

Gus Zein dan Hanna menyalami tangan bunyai dan abahyai dengan ta'dzim. Lalu berpamitan. Mereka pun berangkat dengan berbagai barang di motor geddenya.

Bunyai hanya menangis melihat anaknya. Hendak berumah sendiri.

( Hanna, apa jadinya aku tanpamu.. Kamu sudah saya anggap anak sendiri )

Gumam bunyai disela sela tangisnya.

*
*
"Alhamdulillah"

Gus Zein telah sampai ditempat yang saat ini bisa disebut rumahnya sendiri. Mereka membawa barang barangnya ke ndalem yang nampak sepi.

"Gus"

"Iya?"

"Bunyai sinten seng masa aken?"

"Hmmm.. Kan ada adek Laila"

"Laila mboten saget masak gus"

"Ada para khoddam"

"Hmmm.. Bunyai nggak seberapa cocok sama masakan mbak mbak"

"Kok kamu jadi mikirin umik?"

"Kulo sayang sanget kalian bunyai"

"Hmmm.. Kenapa kamu minta pulang kesini kalau gak bisa jauh dari umik?"

Hanna menarik nafasnya dalam dalam, lalu mengeluarkannya kasar.

( Andai njenengan tau gus, adikmu penyebabnya, aku hanya tak ingin menyakiti hatimu dengan selalu menatap keberadaan Gus Habsyi dengan perasaan cinta )

"Hanna.. "

"Aku..... Lebih suka disini"

"Baiklah"

Sebenarnya Gus Zein belum puas dengan jawaban Hanna yang terkesan menutupi sesuatu, namun Gus Zein tak ingin memaksa Hanna untuk menceritakan masalahnya.

Gus Zein dan Hanna pun menuju lantai atas untuk meletakkan barang barangnya. Lalu melaksanakan sholat isya' berjama'ah.

"Gak pingin nambah hafalan?"

"Nambah juz 18 gus, tapi kulo dereng ziyadah gus"

"Hmm.. Yawes, setelah isya' , setiap hari, samean kudu nambah hafalan, minimal satu halaman.. Ben ndang khatam"

"Terus nderesnya dospundi gus?"

"Tahajjud, harus dapat satu juz, pagi satu juz,  sore satu juz.. "

"Kira kira kulo saget hatam nggak ya?"

Gus Zein memegang dagu Hanna, kemudian mengarahkan wajahnya kehadapan beliau.

"Percayalah, sesuatu yang diniatkan dengan sepenuh hati, in syaa Allah akan menuai hasil, kamu bisa.. Pasti bisa.. Dan harus bisa.. Aku kan selalu mendukungmu"

Hanna menatap lekat ke manik mata Gus Zein yang berwarna coklat. Dia tak habis pikir, seseorang se dingin Gus Zein bisa sebijak ini.

( Ya Allah.. Bukankah tak adil jika aku menyakiti lelaki sebaik ini )

"Akan saya perjuangkan gus, do'akan kulo"

"Selalu Hanna"

Gus Zein mengembangkan sebuah senyuman, senyuman yang tak pernah Hanna lihat sama sekali sebelumnya.

"Nggak tidur?"

Tanya Gus Zein selanjutnya.

"Monggo gus"

Gus Zein merebahkan tubuhnya diatas ranjang kemudian disusul Hanna disampingnya. Beberapa menit kemudian, Gus Zein telah terlelap didalam mimpinya, lain dengan Hanna yang tak bisa memejamkan mata sedikitpun, dia masih memikirkan Gus Habsyi.

Karna tak kunjung terlelap, Hanna bangkit menuju balkon kamarnya, dia memandang pondok pesantren putra yang berjejer dihalaman rumahnya. Terlihat masih ada beberapa anak yang sedang belajar, atau sekedar mengobrol saja.

( Gus.. Kenapa baru sekarang njenengan mengungkapkan cinta njenengan, kenapa setelah aku menikah? Dan kau juga menikah? Bukankah sangat sangat berdosa?

Kuatkan iman hamba ya Allah.. Bahkan setelah menikah pun, aku belum mampu menghapuskan cinta ini terhadap Gus Habsyi )

"Ting"

Sebuah chat masuk ke ponsel Hanna, dia lalu membuka aplikasi berwarna hijau itu, mengecek siapa yang menghubunginya malam malam begini.

( "Hanna? Kenapa pergi?" )

TANDA CINTA BUNYAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang