Ta'aruf setelah menikah

2.5K 99 0
                                    

"Assalamualaikum"

"wa'alakumussalam"

Hanya bunyai yang menjawab salamnya, sedangkan Hanna, dia hanya menganga melihat siapa yang datang saat ini.

( Lelaki dingin ini, diakah yang jadi suamiku? )

"Nak, saya harap kamu bisa menjaga Hanna, mencintai Hanna dengan sepenuh hati"

"Inggih umik"

( Hah? Umik? Jadi selama ini? .. Sejak kapan Gus Habsyi punya saudara, kenapa bunyai tak pernah cerita kalau Beliau mempunyai dua putra? )

"Ayo Hanna, salim ke suamimu"

Hanna berdiri, kemudian menyalami tangan Gus Zein yang terasa dingin. Gus Zein pun memegang ubun ubun Hanna yang tertutup kerudung, dan membacakan do'a do'a nikah. Kemudian Gus Zein mencium kening Hanna.

Darah Hanna terasa berdesir hangat mengalir diseluruh tubuhnya. Air matanya luruh begitu saja.

( Ya Allah, meskipun Hamba belum mencintainya, tapi izinkan Hamba menjadi istri yang sholehah untuk Beliau )

Bunyai menangis bahagia, menyaksikan aksi Gus Zein terhadap Hanna yang begitu lembut.

"Nak, berbahagialah kalian berdua, walau tak ada acara resepsi seperti kemarin.. Tapi saya harap kalian bisa menerima dengan lapang dada"

"Inggih mik, mboten nopo nopo"

Ucap Gus Zein, kemudian bunyai keluar dari kamar dan menutup pintunya.

Tidak ada topik pembicaraan diantara mereka, hening, sangat hening.

Gus Zein pun merasa canggung harus memulai pembicaraan, bagaimanapun, seorang introvert seperti dirinya sangat sulit mencari topik pembicaraan.

"Emm.. Kamu nggak tidur?"

Ucap Gus Zein sebisa mungkin memulai pembicaraan.

"Tasek dereng, badhe teng jedding rumiyin"

Dan lagi lagi hening, Gus Zein tak tau lagi akan berkata apa.

"Ngapunten Gus, mau pinjam handuk"

Ucap Hanna yang memang tak membawa barang apapun ketika bunyai memanggilnya kekamar itu.

"Dibelakang pintu"

Hanna mengambil handuk berwarna cokelat dibelakang pintu, lalu masuk kekamar mandi pribadi.

Gus Zein yang tak tau harus apa, akhirnya memilih tidur diranjang besarnya.

Hanna yang telah selesai dari kamar mandi akhirnya keluar,  menaruh handuknya kembali lalu duduk di tepi ranjang.

"Aku tidur dimana?? Ini Gus..... "

Hanna terdiam sejenak.

"Siapa namanya ya? bahkan nama suamiku aja aku nggak tau.. Terus aku panggil siapa..
Ya Allah.. Kenapa takdirku semendadak ini?"

Hanna merasa bingung harus tidur dimana, karna di ranjang sudah ada Gus Zein yang tertidur pulas, jika harus membangunkan Beliau, dia merasa tak tega.

Akhirnya Hanna menggelar karpet, kemudian mengambil bantal diatas ranjang dan tidur dilantai. Dalam hitungan menit, Hanna sudah tertidur pulas.

*
*
Jam dua dini hari, Gus Zein terjaga. Beliau lupa jika sudah menikah tadi malam, jadi meskipun tidak ada seorang pun disampingnya, Beliau merasa biasa saja. Ketika hendak berjalan menuju kekamar mandi, kakinya tak sengaja tersandung kaki Hanna yang berbaring dilantai.

"Inna lillahi..  Sopo iki?"

Ucap Gus Zein yang nyawanya belum terkumpul sempurna, Beliau tak kunjung sadar jika yang tergeletak dilantai itu istrinya. Gus Zein mengernyitkan dahi memperhatikan lama wajah Hanna yang tengah tertidur pulas. Setelah beberapa menit barulah Gus Zein sadar jika itu adalah istrinya.

"Astaughfirulloh.. Iki bojoku!!"

Ucapnya sembari tepok jidat, Beliau langsung mengangkat tubuh Hanna dan direbahkan diatas ranjang.

"Samean kok bubuk dek ningsor toh?"

Beliau bertanya dengan sangat lirih, namun tak mendapatkan jawaban apapun, karna memang Hanna sedang tertidur pulas.

*
*

Ketika mendengar adzan Subuh, Hanna mulai membuka mata dan langsung terperanjat ketika mendapati dirinya telah berada diatas ranjang bersama Gus Zein.

"Allahu akbar"

Dia memekik keras sembari memeriksa kerudung, dan baju yang ternyata masih menempel sempurna di tubuhnya. Gus Zein pun ikut terperanjat mendengar pekikan Hanna.

"Onok opo toh?"

Protes Gus Zein melihat kepanikan Hanna yang meraba raba tubuhnya.

"Aku ra ngapa ngapakke samean"

  Ucap Gus Zein datar.

"Tapi tadi malam kulo teng mandap, kok tiba² diatas"

"Nyapo nggak turu nduwor??"

"Kan wonten njenengan"

Gus Zein lantas memutar bola matanya malas, lalu menuju kekamar mandi, enggan menjawab ucapan Hanna.

( Duh, gustii.. Kok bisa aku punya suami sedingin batu. Gus Habsyi loh lembut, hangat, ramah. Aku jadi nggak yakin kalau Beliau ini kakak kandung Gus Habsyi )

Setelah beberapa menit, Gus Zein pun keluar dari kamar mandi. Dan diganti Hanna yang memasuki kamar mandi.

Gus Zein menggelar sajadah disebelah kiri ranjang. Kemudian duduk bersila, memejamkan mata dengan tasbih ditangannya.

"Gus!"

Panggil Hanna, membuat Gus Zein terperanjat. Gus Zein pun menoleh kearah Hanna.

"Apa?"

Ucapnya dingin.

"Hehe, mukenah kulo teng pondok, kulo sholat teng pondok nggeh?"

Gus Zein tidak menjawab, Beliau lantas berdiri dan keluar dari kamar.

"Aku ki rasane kok rabi karo patung toh",

Hanna menggrutu melihat sikap dingin suaminya itu.

Tak lama kemudian, Gus Zein kembali dengan membawa mukenah lengkap dengan sajadahnya.

"Ini, punyanya umik, pakek"

Ucapnya singkat, lalu duduk lagi disajadah yang tadi beliau gelar.

Hanna memakai mukenah itu, lalu menggelar sajadahnya. Kemudian dengan hikmat mengangkat kedua tangannya hendak melakukan takbir.

"Mau ngapain?"

Hanna pun menghentikan takbir, dan kembali menurunkan kedua tangannya.

"Sholat subuh lah"

Jawab Hanna dengan santai.

"Lupa kalo udah punya imam?"

Wajah Hanna langsung bersemu merah menahan malu mendengar ucapan Gus Zein yang terkesan sedikit tapi menusuk.

( Iihh.. Kenapa menyebalkan sekali? ).

TANDA CINTA BUNYAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang