Se Ambisi itu kah?

1.9K 82 2
                                    

Suara alarm melengking ditelinga Hanna, dia telah tersadar, namun matanya masih tertutup. Tubuhnya terasa berat untuk bangun. Dia mulai membuka matanya sedikit demi sedikit.

"Gus?"

Hanna melihat tangan Gus Zein yang melingkar diatas perut Hanna.

( Kenapa aku begitu nyaman dengan posisi ini? )

Hanna membangunkan Gus Zein dengan suara yang begitu lirih. Gus Zein yang mendengar panggilan Hanna pun membuka mata, dan langsung terperanjat, karna telah sadar bahwa tangannya memeluk tubuh Hanna tadi.

"Kenapa gus?"

"Emm.. Tak apa"

Hanna mematikan Alarm yang menunjuk ke angka 03.00 dini hari, kemudian beringsut kekamar mandi.

Ketika keluar dari kamar mandi, Hanna melihat Gus Zein yang tidur lagi, dan lagi lagi Hanna harus membangunkan suaminya itu.

"Kok doyan banget tidur toh gus"

Dia menghampiri suaminya dan menggoyangkan tubuhnya agar terbangun.

"Gus.. Monggo tangi rumiyin.. "

Karna tak kunjung bangun, Hanna membisikkan panggilannya tepat ditelinga Gus Zein.

Hembusan nafas hangat Hanna, mampu membangunkan Gus Zein. Ada desiran hangat yang tak bisa diartikan ketika Hanna berbisik ditelinganya. Tubuhnya rasanya begitu panas, dan ada gejolak yang Beliau sendiri tak tau itu gejolak apa.

Beliau pun membuka mata lalu mendudukan badannya sejenak, Sebelum akhirnya dia pergi kekamar mandi.

Hanna menggelar dua sajadah depan dan belakang, kemudian duduk dibagian sajadah belakang sembari menunggu Gus Zein keluar dari kamar mandi.

"Ayo.. "

Mereka pun melaksanakan sholat tahajjud berjama'ah. Setelah itu muroja'ah bersama.

*
*
"Hanna, pagi ini aku harus ke Pondok Sarang, untuk mengganti kandidat khoddam yang aku tinggalin sekitar 1 bulan belakangan"

"Sampe jam pinten gus?"

"Mungkin maghrib baru bisa pulang, nanti aku minta Laila buat nemenin kamu disini ya"

"Hmmm.. Inggih gus"

Ada rasa berat di hati Hanna, ketika Gus Zein berpamitan untuk keluar.

"Gus, butuhaken nopo mawon?"

"Nggak butuh apa apa Hanna, nanti aku dari sini pakek motor, terus aku taruh dipenitipan. Aku naik kereta"

"Ooh.. Inggih pun"

"Aku berangkat dulu ya, nanti aku hubungin Habsyi biar nganterin istrinya kesini"

"Inggih hati hati"

Hanna menyalami tangan Gus Zein dengan ta'dzim, kemudian Gus Zein mengecup kening Hanna.

( Ya Allah, kenapa aku merasa sangat bahagia ketika Beliau memperlakukan hal hal ini kepadaku? Apa aku mulai mencintainya? )

*
*
"Tin tin"

Suara klakson mobil mengejutkan Hanna, dia lantas menghentikan aktivitas muroja'ahnya dan memeriksa dari atas balkon, siapa yang datang saat ini.

Laila terlihat keluar dari mobil, lalu menggandeng Gus Habsyi masuk ke dalam rumah besar itu.

Hanna pun bergegas ke bawah untuk menghampiri sahabatnya itu.

"Assalamualaikum, Hanna"

"Wa'alaikumussalam, Laila"

Mereka berpelukan, dan begitu girang ketika dipertemukan, seakan tak pernah bertemu selama 3 tahun lamanya.

"Heh Lel.. Aku kangen banget loh"

"Hiyoh Han.. Aku yo pisan.. Suwi loh nggak curhat curhatan"

"Hehe.. Ayuk ke atas, samean ndak pernah kesini kan?"

"Iyo Han.. Aku gak pernah diizinin ikut sama mas Habsyi. Yang waktu itu umik sama Mas Habsyi kesini, saktemene aku pingin melu..  Cuma katanya mas Habsyi jangan dulu, biar aku dirumah dulu jaga kandungan"

Laila mengucapkannya sembari memegangi perutnya.

Hanna lantas memandang Gus Habsyi, lalu memandang Laila dengan mulut menganga.

"Samean hamil Lel? Kok ndak ngasih tau toh"

"Hehe.. Lupa Han"

"Yawes, ayo ndang lungguh.. Gak baik orang hamil lama lama berdiri"

Mereka pun menaiki tangga meninggalkan Gus Habsyi yang memilih menyusuri pondok.

"Han, luas banget yoh.."

Hanna hanya mengerdikkan pundaknya.

"Lel, Gus Habsyi sayang nggak sama kamu"

"Lah pakek nanya,.. Yaiyalah Han, sayang banget malah, perlakuannya lemmbut banget, makanya sampe hamil kayak gini.. Hehe"

Hanna mengulas senyum diwajahnya.

( Alhamdulillah Ya Allah..  Semoga selalu begini )

"Kalau orang gak cinta tuh piye toh?"

Hanna bertanya serius terhadap Laila.

"Kalo ndak cinta, jangankan digauli.. Disentuh aja tuh risih banget.. Kata temen temenku sih gitu"

( Tapi aku tak merasakan risih sama sekali ketika Gus Zein menyentuhku, apa benar aku telah mencintainya? ).

*
*
"Han, aku rasanya capek banget habis keliling pondok.. Boleh tidur nggak.. Hehe"

"Ya boleh lah Lel.. Yuk tidur dikamarku"

Setelah melihat lihat pondok, Hanna mengantarkan Laila agar tidur dikamarnya. Kemudian dia menuju kedapur hendak memasak untuk Laila dan Gus Habsyi.

"Emm.. Masak opo yo?"

  Hanna mencari cari bahan yang hendak dimasak.

"Masak telur"

Ucap Gus Habsyi dibelakangnya.

"Ohh.. Telur ya gus"

Hanna membalas ucapan Gus Habsyi dan nada datar, kemudian mengambil tiga butir telur dari kulkas nya.

"Hanna, kamu masih ingat kan.. waktu aku menggoreng telur, lalu telurnya gosong? Aku yakin kamu masih mengingatnya"

Hanna memang masih sangat mengingatnya, tapi untuk saat ini, berpura pura amnesia sepertinya lebih baik.

"Mboten Gus, kulo mboten inget sama sekali"

"Tidak mungkin Hanna"

"Gus, sepertinya njenengan harus menjaga Laila dikamar..  Biar saya sendiri yang masak"

"Hanna.. Tolong dengarkan penjelasanku"

"Penjelasan nopo Gus? Istri njenengan sedang hamil, tak seharusnya njenengan seperti ini.. Itu sama saja njenengan menyakiti dua jiwa.. Dan satu lagi.. Harusnya njenengan bisa menghargai suamiku, yang tak lain adalah kakak njenengan sendiri"

"Bahkan biasanya Mas Zein ikhlas memberikan apapun miliknya padaku, sekalipun dia sangat menyayanginya"

Hanna benar benar tersayat mendengar ucapan Gus Habsyi yang terdengar sangat keterlaluan ini. Beliau seakan menganggap Hanna bak mobil mobilan yang pernah direbut dari tangan Gus Zein dulu.

"Tapi sayangnya saya bukan barang Gus, yang bisa njenengan buang, dan ambil begitu saja"

Hanna yang sangat merasa kessal dengan Gus Habsyi, dia lantas keluar dari dapur meninggalkan Gus Habsyi..

( Jika saja aku tau sifatmu se-ambisi dan se-egois ini, mungkin aku takkan pernah mencintaimu gus... )

TANDA CINTA BUNYAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang