Chapter 03

17.5K 975 63
                                    

MENURUT Sentana, Mandala adalah perempuan paling tidak tahu diri di muka bumi ini.

Pasalnya perempuan itu selalu saja punya ego setinggi langit yang diagung-agungkan. Benar-benar tipikal perempuan yang suka meninggikan diri dengan cara angkuh yang tak mendasar.

Jika Sentana diminta untuk menyebutkan keburukan perilaku Mandala, mungkin saja Sentana bisa membuat satu jilid buku tebal dengan coretan kebencian di dalamnya.

Contohnya saja, yang paling melekat di dalam benaknya sejak dulu hingga sekarang adalah, masa dimana mereka baru saja menikah. Saat itu keangkuhan Mandala benar-benar setinggi harapan orang tuanya. Bahkan perihal cara mereka berkomunikasi saja, Mandala sama sekali tak mau kalah dengan Sentana sedikit pun.

Flashback, two years ago.

"Inget ya, gue tuh punya pacar. Jadi meskipun gue nikahnya sama lo, bukan berarti gue juga bakal suka sama lo. Najis sumpah!"

"Iya, saya juga nggak suka sama kamu. Tenang aja."

Masih melekat di kedua tubuh mereka riasan dan tatanan agung tradisional khas Bali, yang keduanya pakai saat menggelar upacara pernikahan sampai dengan resepsi sedari pagi hingga malam, hari ini.

Lelah terasa begitu pekat, pun rasanya bau peluh mulai menghinggapi tubuh keduanya— yang tanpa henti memasang sandiwara bagai pengantin paling bahagia sejagat raya hari ini.

"Terus ya, meskipun gue denger-denger lo bakal balik ke Papua setelah ini banget, gue tetep mau punya kamar sendiri." Mandala menandas cepat perkataannya. "Mau lo lagi di rumah atau nggak, intinya kamar gue tuh bakal jadi batas privasi antara gue sama lo. Gue ngak ngizinin lo masuk dengan alasan apapun."

Sedikit yang Mandala tau tentang Sentana adalah pria itu sejak dulu tak pernah menetap di Bali seperti dirinya. Meskipun Sentana adalah keturunan berdarah murni Bali, namun sejak lahir pria itu telah tumbuh di kota lain. Jakarta lebih tepatnya. Dan ketika beranjak dewasa, pria itu lantas menetap di Papua untuk urusan pekerjaan.

Hanya itu yang Mandala tau tentang Sentana. Sisanya, tidak penting sama sekali baginya.

Sentana melirik singkat. "Iya, pilih aja mau pake kamar yang mana buat kamu. Saya ngikut."

Mandala mengangguk beberapa kali kemudian melangkah untuk mengelilingi bangunan yang akan ia sebut rumah mulai hari ini.

"Oiya," mendadak perempuan itu melihat kearah Sentana di seberangnya. "Nanti kalo lo udah balik ke Papua, nggak usah ngabarin gue apapun. Anggap aja lo masih single belum beristri." ucapnya lantas melangkah menyusuri anak tangga dan masuk kedalam satu ruangan yang berada dekat tangga lantai dua.

Beberapa saat Mandala menyusuri ruangan tersebut, hingga, "Gue mau kamar ini." putusnya berucap.

Perempuan itu lantas kembali melangkah turun. Mengambil satu koper besarnya untuk ia bawa naik keatas kamar barunya. "Dan terakhir," Mandala berhenti sebelum ia berlalu dari hadapan Sentana sepenuhnya. "Jangan berharap malam ini bakal ada sesuatu diantara kita. Gue nggak akan mau dan nggak sudi. Jadi stop liatin gue bolak balik pake mata jelalatan lo ini." sinis raut wajah Mandala kala berucap.

Disana Sentana sempat berdecih singkat memandang punggung perempuan yang kini mulai menaiki kembali anak tangga dihadapannya. "Mandala," panggil Sentana pelan.

"Saya nggak tau gimana sifat kamu, karena ini pertemuan pertama kita. Jadi, saya belum bisa menyimpulkan apapun dari sini." ucapnya tenang, melangkah mendekat kearah Mandala yang sontak berhenti di tangga. "Tapi, saya cuma heran bagaimana bisa, ya, seseorang yang katanya ibu saya sopan dan terdidik— bisa berkali-kali mengumpat ke saya yang notabenenya orang baru. Saya kayanya nggak setuju sama pernyataan ibu saya tentang kamu itu orangnya sopan, Mandala."

Di Atas KastaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang