Chapter 45

17.3K 1K 82
                                    

SENTANA selalu ingat, pertama kali ia melihat wajah Mandala adalah di sini, Puri. Ketika itu mereka hanya dua anak kecil yang masih terlalu awam akan dunia. Untuk berjalan saja masih perlu menggengam tangan orang tua.

Bagai kaset yang berputar tanpa pudar.

Kini genggaman tangan adalah milik mereka. Dua anak kecil yang dulu terjatuh bersama. Sentana dan Mandala.

Tidak ada yang berubah. Semua latar yang mengiringi pertemuan mereka saat itu juga kembali mengiringi mereka kini. Tungkai kaki dengan pecut laju beriringan. Senantiasa genggaman mengerat kian dekat.

"Dulu kita ketemu di sini," bisik Sentana. Uluran tangannya mengusap pelan perut Mandala. Seolah ingin sekali memamerkan kepada anak mereka— kalau keduanya sudah bertemu saat kecil dulu— kini sudah akan menjadi orang tua. Ingatan kembali dimainkan dalam benak. Menyadari anak kecil itu tumbuh menjadi perempuan dewasa teramat cantik kini. Sentana menyematkan belaian.

"Aku inget sekarang..." suara Mandala kecil. Mendadak gugup. Bagai tersadar bahwa sudah sejak dulu ia bertingkah dan memulai perkara duluan kepada Sentana. Dan selalu ditanggapi dengan sesabar mungkin. Genggaman tangan menjadi gelayut manja. Merasa beruntung tidak berhutang janji sebab telah dibantu untuk menepati oleh semesta. Mandala menyadarkan turut kepala ke pundak kokoh itu.

Akhir pekan kali ini digunakan keduanya untuk singgah ke Puri.

Ketika itu Kalendra menghubungi lewat pesan singkat tentang perliharaan barunya, berujung dengan meminta agar Sentana dan Mandala datang ke Puri untuk melihat anjing barunya, Nugget.

Begitu saja hingga kini keduanya telah tiba.

Langkah kaki terjeda ketika mendengar suara-suara terlampau ramai yang berasal sedari bagian timur Puri. Mengenal beberapa gelak tawa yang sangat familiar di telinga. Lantas selanjutnya tungkai dipecut untuk mencari tahu lebih cepat.

Obsidian keduanya memicing saat mendapati hampir separuh keluarga tengah berada di sana. Bahkan kedua orang tua Mandala juga nampak hadir. Tengah duduk manis di kursi mahoni bersama yang lainnya. "Sen!!" pekikan girang Kalendra yang langsung saja berlari kesenangan.

Sontak membuat semua orang menatap ke arah Sentana dan Mandala.

Kaki pendek Kalendra berpacu, kencang, cepat-cepat Sentana mengimbangi dengan berlari kecil. Mengamankan tubuh Kalendra sebelum keponakannya itu terjatuh sebab terlalu antusias. "Alen tungguin ari tadi!!" katanya mengadu sesudah tubuhnya terangkat ke dalam gendongan Sentana.

Di sisinya Mandala menatap, melempar senyum pada Kalendra yang kebetulan tengah menatapnya, namun kemudian senyum Mandala luntur sebab Kalendra memutar bola mata untuknya.

Astaga, apa salahnya sampai diberikan raut sinis begitu? Mandala balas dengan mengerutkan kedua alis.

"Tadi Sen kena macet di jalan, Alen." seloroh Sentana berupaya menenangkan Kalendra sebelum merajuk darinya. "Tapi Alen dah ari dua hari kangen ama Sen..." Kalendra mendramatisir bicaranya dengan menampilkan raut kelewat murung.

Sentana tersenyum. Mengambil tangan Kalendra untuk kemudian ia ayunkan kecil saja. "Sen udah di sini sekarang..." sahutnya mengimbangi nada bicara anak-anak, ramah. "Kalo sama Mandala gimana, Alen? Kangen juga?" Kalendra menatap ke arah Mandala di sisi Sentana. Tidak bersuara. Memalingkan muka begitu saja.

"Sen, ayo main!" seolah mengabaikan kehadiran perempuan dewasa di sisi pamannya itu, Kalendra bahkan menyuarakan keinginannya yang tertuju hanya pada Sentana seorang.

Mandala berdecih heran, tidak habis pikir.

Sentana menatapnya sejenak, menggeleng kepala.

Tahu bahwa kehadirannya tidak dinanti oleh Kalendra, Mandala memicingkan mata sebal pada anak laki-laki itu, baru kemudian melengos pergi meninggalkan keduanya.

Di Atas KastaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang