JIKA saja Mandala tau bahwa perjalanan yang akan ia tempuh untuk tiba di lokasi pesta kolega Sentana akan sejauh ini, Mandala pasti sudah menegaskan dari awal bahwa ia tak akan mau datang.
Jauh sekali perjalanan mereka. Bahkan memerlukan hampir tiga jam sedari hunian mereka hingga akhirnya tiba juga pada area parkir yang dipenuhi dengan pepohonan rindang dan taman-taman kecil yang berisikan jajaran bunga, juga suara debur ombak yang kemungkinan berada tepat di depan resort bernuansa tropis itu.
"Kalo aku tau bakal sejauh ini tempatnya, aku nggak bakal mau ikut, Sen!" gerutu Mandala di sebelah. Meski mereka sudah tiba dua menit lalu, namun belum ada tanda-tanda keduanya akan segera turun dari dalam mobil dalam waktu dekat.
Mungkin memang setiap kegiatan harus dimulai dengan pertengkaran terlebih dahulu, sehingga tanpa sadar mereka memberi jeda sejenak untuk itu.
Sentana melirik singkat. Tidak protes saat telinganya harus mendengar ocehan Mandala malam ini. Wajar saja, ia memang lupa memberitahukan bahwa lokasi pesta yang digelar oleh koleganya itu berada di Lovina, sangat jauh di ujung pulau.
"Kamu juga, udah tau tempatnya bakal sejauh ini kenapa nggak ngajakin berangkat lebih cepet sih? Sengaja 'kan kamu mau buat aku kecapekan? Mau buat aku keliatan jelek besok di talk-show aku?"
Sentana menghela napas sedikit mendengkus. "I've make sure that we can stay here for the night. Udah aku siapin juga supir buat anter kamu besok. Kamu bisa berangkat dari sini jam tujuh buat acara talk-show itu. Masih tetep banyak 'kan waktu tidurnya?" air mukanya masih sangat terkendali, tenang. Sebab Sentana memang sudah menyiapkan hal-hal tersebut untuk antisipasi Mandala akan mengomel, seperti saat ini.
Mandala mengulum bibirnya beberapa saat. "Ok, baguslah kalo kamu inisiatif." satu alisnya menaik kala berkata demikian. "Tapi bukan berarti kamu langsung jadi terlihat baik di mata aku sekarang. Kalo aku keliatan lemes di talk-show nanti, tetep kamu yang salah pokoknya."
Kebal, Sentana sudah sangat terbiasa dengan todongan berkonotasi negatif dari Mandala. Dan untuk kesekian kalinya, Sentana hanya menghela napas sebagai tanggapan.
Sabarnya luas sekarang. Ia bisa menerima marah perempuan itu dengan kepala dingin. Ada batas-batas yang Sentana maklumi untuk celotehan Mandala. Selagi tidak menyeret selingkuhan perempuan itu ke dalam percakapan, Sentana bisa memakluminya.
Sebab, anehnya, ia mulai sangat tidak suka dengan orang ketiga dalam rumah tangganya itu.
Dan jika saja ia mendengar nama pria itu dari bibir Mandala, mungkin akan menjadi haram hukumnya sekarang.
Karena mulai bisa mengabaikan omelan Mandala bagai angin lalu, kini Sentana justru tersenyum pelan— meski kepalanya bergeleng heran dengan decakan yang tersirat. Memutuskan untuk menyudahi perdebatan dengan beranjak turun dari mobil— Mandala dari dalam dapat melihat Sentana yang tengah melangkah menuju ke arah pintunya yang tengah tertutup rapat— tidak lama, terbuka dengan suaminya itu yang berdiri di depan.
"Ayo, turun." ajak Sentana mengulurkan satu tangannya.
"Apa, nih? Nggak usah sok gentle, ya!" tentu saja Mandala tidak dapat menerima tingkah Sentana secara instan. Yang ada, ia justru berusaha menepis tangan suaminya. Meski, "Cepet, Man." Sentana juga kukuh dengan pendirian dan tangannya yang menanti lama.
Mau tak mau, Mandala menyambut uluran itu. Sentuhan kemudian tercipta begitu saja. Lantas, berjalan beriringan keduanya dengan tungkai yang menapak kompak.
"Makeup aku masih bagus nggak? Gara-gara perjalanan terlalu lama, kulit aku rasanya kering banget, deh." pertanyaan Mandala membuat Sentana menoleh. Bersamaan dengan itu, langkah mereka yang beriringan mempermudah Sentana untuk melingkarkan tangannya pada pinggang Mandala.

KAMU SEDANG MEMBACA
Di Atas Kasta
RomansaPernikahan yang terjadi tanpa landasan perasaan. Menjunjung tinggi wangsa nan tatanan budaya di masyarakat. Dan mengesampingkan seluruh kebahagiaan. Sentana Loka dan Mandala Bhuana telah terjebak dalam dalih pernikahan yang saling mengikat satu sa...