SEHARUSNYA mesra datang bersama momentum yang tepat. Ketika dua insan yang berlabuh dalam romansa hangat, dapat menyambut mentari dengan pipi yang tersipu merona.
Akan tetapi, tuntutan selalu ada dan berperan bagai orang ketiga. Mengambil kilah nan berusaha memisahkan, bahkan kala dekapannya masih meringkuk dalam - dalam.
Pukul empat tiga puluh pagi, saat Sentana masih melingkupi Mandala dengan kedua lengannya. Deru napasnya berhembus silih berganti dalam senyap, sama sekali tak ingin membangunkan perempuan dalam dekapnya yang masih terlalu lelap dalam bunga tidur itu.
Wajar, sebab mereka baru tertidur kurang lebih dua jam saja. Menandakan, waktu tidur yang keduanya miliki sangat sedikit.
Meski obsidiannya masih terasa begitu berat, Sentana harus memaksakan diri untuk bangun jauh lebih pagi dari Mandala. Jadwal penerbangannya akan berlangsung di pagi hari, dan jarak antara resort dengan bandara terlalu jauh— Sentana harus berangkat setidaknya paling lambat di jam enam pagi untuk menghindari keterlambatan.
Jadi ia melerai dekapan itu.
Beberapa saat Sentana sibuk dengan kegiatannya sendiri. Merapikan keperluannya dalam diam. Lalu saat jarum jam dinding mengarah ke angka lima, Sentana terlihat telah rapi dengan setelan kasualnya— lengkap dengan surai yang disisir tertata dan aroma woody yang menguar kuat dari tubuhnya.
Sentana masih memiliki waktu. Setidaknya untuk membangunkan Mandala, dan membuat istrinya tau bahwa mereka akan segera berpisah. Sementara. Sebaiknya memang tidak selamanya.
Duduknya kini berada di tepi ranjang. Mengamati tubuh yang berlingkup di balik surai yang menutupi. Suara ombak masih lebih keras dibandingkan dengan deru napas Mandala yang terlalu tenang. Angin fajar mulai terasa menghangat kala mentari nampaknya bersiap untuk mematri, setia, sama seperti yang Sentana lakukan dengan kedua obsidiannya yang menatap lekat.
Merunduk pelan, jemari besarnya itu sedikit dingin— kontras dengan suhu tubuh Mandala yang hangat dalam
geluman selimut. "Mandala..." panggil Sentana pelan. Mengusap halus-halus gurat di wajah istrinya yang masih larut dalam nyamannya selimut berbahan sutra.Pakaiannya yang rapi, terlalu formal untuk Mandala yang masih menggenakan gaun tidur tipisnya. Surai kelam itu bagai untaian benang yang menutupi. Sentana sisipkan, untuk melihat. Lalu ketika ia merendah, Mandala menggeliat pelan dalam tidurnya, merasakan sentuhan dingin yang terasa asing di atas kulitnya itu.
"Man," Sentana kembali memanggil untuk membangunkan. Tepukan sehalus rayon. Entah sedang berusaha membangunkan atau justru sedang memuja.
Dalam hitungan menit keberangkatannya pergi tak dapat dihindari. Setidaknya, Sentana harus mendekap Mandala dalam keadaan sadar— sebab itu adalah hal yang disukai istrinya. Jika menurut Mandala itu satu-satunya hal yang terasa benar dalam pernikahan mereka, Sentana usahakan semua.
Tatapannya selembut riak sungai yang berderap tenang. "Mandala..." terakhir kali Sentana memanggil dan ia berhasil membuat kelopak netra itu mengerjap. Bagai terusik oleh sinar yang menyorot dari atas kepalanya, juga, terganggu dengan suara-suara yang masuk ke dalam mimpinya.
Riapan tak senang itu melirik sesaat, "Duh..." gerutu kecil adalah yang pertama kali terlontar dari bibirnya. "Kenapa sih?" dilanjutkan dengan pertanyaan bernada tak suka yang kini mengudara.
Sentana menatap nampak terdiam sesaat. "Ayo, bangun dulu..." sebisa mungkin Sentana melembut, agar Mandala yang baru terbangun tidak melempar amarah kepadanya.
Mandala mengerang singkat. Gaun tidurnya yang lebih layak disebut dengan kain kasa— tipis — itu membuatnya dapat merasakan dingin yang terlalu kentara. Mandala menyelimuti dirinya kian dalam. "Kamu tuh udah bikin aku tidur kepagian, sekarang bangunin akunya juga kepagian, dasar aneh!" dari dalam selimut Mandala mengomel. Kesal.

KAMU SEDANG MEMBACA
Di Atas Kasta
RomantizmPernikahan yang terjadi tanpa landasan perasaan. Menjunjung tinggi wangsa nan tatanan budaya di masyarakat. Dan mengesampingkan seluruh kebahagiaan. Sentana Loka dan Mandala Bhuana telah terjebak dalam dalih pernikahan yang saling mengikat satu sa...