Chapter 29

19.4K 1.4K 839
                                        

KEBOHONGAN Sentana seharusnya mendapat tamparan bolak-balik dari Mandala. Ketika mengaku sudah mengantuk berat, dan ingin cepat-cepat terlelap, justru berubah menjadi membawa Mandala untuk bersembunyi dalam hembusan senyap.

Akan tetapi, alih-alih memberi tamparan, jemari Mandala justru memberi remasan yang kian mengerat. Setiap pergantian detik, sisiran tangannya mendalam. Berharap dapat menghentikan, nyatanya kian membawa hasrat menggairahkan.

Selalu saja rembulan yang menjadi saksi bagaimana deru angin berhenti sempurna, tiap kali dua insan itu tengah berjumpa. Menggantikan suara afeksi lainnya, dengan lirih parau mereka.

The raw kiss. A little bit of groan. And a soars moan. Hymns up, diabolically, wild. The red stained on their lips they can't resist.

Padahal sudah terbaring sejak tadi, namun, bagai sedang terjatuh sedari langit ketujuh nan meluncur bebas tak menapak. Tangannya yang melingkar dibalas dengan lengan yang mendekap. Membubu tinggi kompak melambung di udara.

Terlalu klasik untuk mengucap rindu lewat kata, maka, Mandala dan Sentana punya cara lain untuk mengutarakannya. Tiap inci pagutan Sentana yang melesak, mengambil seluruh kewarasan Mandala sampai ke nadi. Meniti setiap sudut. Atas nan bawah Sentana lumat perlahan. Tubuhnya yang menindih rasa-rasa harus pandai memposisikan diri, sebab fajar sudah terlalu larut untuk tindakan mereka yang masih dini.

Mengantarkan belaian pada Sentana yang berada di atasnya, Mandala membalas dengan begitu sukarela, terang-terangan kini menghembuskan napas lirih yang justru terdengar bagai lenguhan manja di telinga Sentana.

Pangutan itu sempurna melemah saat dua sejoli tersebut kehabisan napas. Perlahan, Sentana membawa laju tautan mereka berubah pelan sekali. Detik-detik terakhir ia gunakan untuk memberi kecupan kasih. Halus, lembut, semoga tidak rapuh. Lantas ketika sejemang jarak berhasil tercipta di antara bibir mereka, kompak dirinya dan Mandala menarik pun membuang napas. Hangat, lega.

Sorot netra yang beradu itu, selalu membawa ketukan jantung bagai tuts piano yang ditekan sekeras mungkin. Menemukan dua manik sepekat cakrawala untuk saling menilik lekat. Teduh, bagai tengah berpayung di bawah hujan.

The flirty and fiery look beneath their eyes. The butterflies they chase. The sensual melancholia. Pierced souls. Drunk in each other irises's, always. A constellation that need to be learned.

Senyum tersipu Mandala dapat Sentana tangkap dengan teramat sempurna. Bahkan ketika perempuan itu hendak membuang tatap dengan menoleh ke samping, Sentana harus cepat-cepat meraih dagu itu untuk tak berpaling.

Mempertahankan tatapan mereka.

Tindakannya tersebut dibalas dengan cubitan keras pada tengkuknya, ulah Mandala. Membuat Sentana meringis pelan, namun tidak bertahan lama, sebab Sentana justru kembali melempar tatap menyidiknya itu tepat pada pupil membesar Mandala.

Kedua bola matanya bergerak acak ke sana-kemari, "Sen!" Mandala mulai memekik sebab tak kuasa menahan panas di pipinya saat ini.

Ingin rasanya melambai tangan ke kamera, namun benda itu bahkan tak ada di kamarnya. Jadi yang tercepat adalah menarik wajah Sentana dan bersembunyi di antara ceruk leher suaminya. Mandala harus lakukan itu sebelum sesuatu lebih dalam terjadi di antara mereka.

Sebab yang sudah-sudah, tilik obsidian mereka adalah fatamorgana yang mengundang bencana besar.

Sementara itu, Sentana dapat merasakan gerakan menyisip kecil dari Mandala yang bersembunyi di ceruk lehernya. "You're blushing," membawa tubuh Mandala sedikit menjauh dari pelukannya, Sentana semakin menjadi-jadi dengan menangkat dagu itu kembali, guna memsejajarkan wajah mereka. "Way too hard."

Di Atas KastaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang