Chapter 14

11K 726 129
                                    

"ALEN mau hadiah apa?"

Fokusnya terbagi menjadi dua, pada setir kemudi yang sedari tadi berputar, juga pada suara panggilan yang tengah berlangsung di ponselnya saat ini.

"Alen maw mobing bum bum oleh?"

Terkekeh gemas sembari membanting setir pada tikungan di hadapannya, "Boleh Alen. Nanti Sen beliin, ya?"

Siang ini, usai menghadiri rapat dan menandatangani beberapa berkas kerjasama, tak ada lagi pekerjaan yang harus Sentana lakukan. Ia bahkan sudah melongo malas di dalam ruangan kantornya selama satu jam tanpa melakukan apa-apa.

Lalu tiga puluh menit yang lalu, dengan senyum puas ia meninggalkan ruangan pribadinya lebih cepat dari biasanya.

Memutuskan untuk pulang lebih cepat— dan jadilah ia kini sudah menyetir untuk kembali pulang ke rumah.

"Ya!"

Itu suara keponakan Sentana. Namanya Kalen, berusia dua tahun dan akhir pekan ini akan merayakan ulang tahun keduanya.

Sedari panggilan jarak jauh Sentana dan Kalen berkomunikasi, ringan nan santai sebab dua orang tersebut sudah dekat sejak awal. Pun saking dekatnya, Kalen secara langsung mengundang Sentana untuk hadir pada perayaan ulang tahun bocah laki-laki itu nanti.

"Sen ateng ama Sandal?"

"Mandala, Alen..." koreksi Sentana cepat.

"Ya, Sandal! Sen ateng ama dia?"

Bergumam kecil kala mendengar pertanyaan dari Kalen. "Mandala sibuk. Tapi nanti Sen coba tanya, ya?"

"Ya! Api Sen asti dateng kan?"

Seberkas senyum berhasil terulas dari bibir Sentana kini. "Iya, Sen pasti datang." ucapnya tersenyum luruh.

"Hm, Alen? Boleh Sen matikan telponnya sekarang? Sen lagi nyetir mobil ini macet— aduhh, macet sekali!"

Dari seberang, Sentana dapat mendengar Kalen yang tengah mendesah kecewa,"Yawdah, Alen matiin ya! Hati-hati Sen!"  namun itu tak berlangsung lama sebab Sentana tau keponakannya yang satu itu ada bocah laki-laki yang pengertian.

Usai panggilan terputus, Sentana lantas kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku.

Tidak ada macet seperti yang Sentana katakan. Ia bahkan sudah tiba di rumahnya sendiri yang nampak sedikit berbeda hari ini.

Cepat-cepat memarkirkan mobil dan segera masuk ke dalam, "Loh, Mbok? Mandala ada di rumah?" Sentana melongo sembari melangkah menyusuri koridor setelah melihat mobil milik sang istri terpatri rapi di halaman rumah mereka.

Bertanya dengan penuh rasa penasaran.

"Iya, pak. Tadi sempat pergi sebentar, tapi habisnya lagi langsung balik pulang." menoleh pada tuannya yang baru saja tiba, Mbok Yan menghentikan sejenak pekerjaannya mengusap jendela cermin di ruang tengah itu.

Pertama, pagi tadi Sentana masih melihat Mandala bersiap dengan gaya khas perempuan itu seolah akan pergi ke kantornya. Dan kedua, hari ini masih hari kerja, pun Mandala adalah tipikal perempuan yang taat betul pada pekerjaannya. Mengerutkan alisnya dengan sebelah naik tinggi, "Kenapa? Tadi bukannya udah pergi dia?" tanya Sentana penasaran.

"Tadi ibu pergi ke dokter pak. Pulang-pulang minta Mbok buatkan bubur...ternyata pas Mbok cek, ibu badannya panas banget."

"Oh, iya? Berarti udah berobat dia?"

Mengangguk sebagai jawaban, Mbok Yan melempar lirikan singkat ke arah lantai dua hunian tersebut, tempat dimana kamar Mandala berada. "Sudah pak. Sekarang ibu lagi istirahat. Katanya kepalanya pusing sekali."

Di Atas KastaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang