UDARA terasa menipis kala benih-benih amarah mulai berkumpul erat.
Iris mereka bertubrukan. Kembali melempar tatapan nyalang yang kontan drastis dengan pandangan tenang keduanya sejemang lalu.
Menggeleng tak percaya, Sentana meraup wajahnya gusar. Napas yang sedari tadi memupuk di kerongkongannya kini ia hembuskan kasar-kasar. "Kamu nggak mikir apa, Man?" nada bicara Sentana meninggi satu tingkat. "Zaman sekarang udah modern, Mandala! Even my grandpa has social media just like us the millennials!"
"Ya, yaudah sih! Lagian salah kamu lah ngajak aku ribut kemarin!" tak terima dengan nada meninggi sang suami, Mandala juga turut meninggikan bicara pun menuding Sentana seperti biasa ia lakukan.
"Kamu tuh—" Sentana menggepalkan tangannya erat. "Kamu tuh nggak pernah menghargai aku sebagai suami, kamu nyadar nggak sih?"
Sentana bisa merasakan getaran kemarahan yang merambat di dalam dirinya, menggelora seperti bara api yang siap meledak. "Pernah nggak sih Man, kamu liat aku sebagai suami?" tersirat nada frustasi dalam kelakar Sentana.
"I never ask you to be the perfect house wife— yang tinggal duduk manis diem di rumah sambil nunggu suami pulang, Mandala! Pun dua tahun kita menikah aku nggak pernah menuntut kamu untuk memenuhi kebutuhan paling mendasar yang aku perlukan. Never, Man."
Tentu saja, Sentana kecewa.
Ia sampai menggigit bibirnya sendiri, mencoba menenangkan diri. Rasanya seperti tengah ditikam sedari belakang menggunakan timah panas yang membolongi jantungnya kini. Ia merasa terkhianati.
"Selama ini aku cuma minta kamu bertahan untuk jadi istriku di depan publik, Man. Hanya itu." Sentana mempertegas perkataannya dengan nada penuh penekanan.
"Dan itu nggak aku lakukan hanya untuk diriku sendiri—, tapi untuk kita, Man. Untuk aku dan kamu!"
Menarik napas dalam-dalam, pergelangan tangan Mandala, Sentana raih pun genggam teramat kuat. "Udah berapa lama kamu upload foto itu di sosial media?"
Sejenak mengulum bibirnya masuk sembari menahan ringisan kecil yang berasal dari pergelangan tangannya. "About 7 or 8 hours ago? Nggak tau, aku lupa." enteng Mandala menjawab, sebab memang baginya tak ada yang salah di sini.
"Lagian, why is it a big deal, Sen? Kamu ngizinin aku pacaran, dan itu salah satu bagian dari cara aku sama Jere pacaran. So, why are you so mad at the slightest things like that?"
Mandala sungguhan tak mengerti kenapa Sentana bersikap heboh begini. Memangnya bagian mana yang salah?
"Yeah, i do give you the permission to have a boyfriend, but did i allow you to humiliated me in public like that?" urat di dahi Sentana menonjol, seolah hendak keluar jika saja Sentana tak membuang napas pendeknya itu. "Kamu mempermalukan aku, Mandala."
Oh, tentu saja Mandala tak akan pernah merasa bersalah.
Akan tetapi, siapa yang tidak merasa harga dirinya dihina saat tau pasangannya menggungah foto mesra bersama orang lain begitu saja?
Bukan Sentana, sebab Sentana merasa benar-benar marah saat ini.
"Tapi kamu juga ngerendahin harga diriku kemarin, Sentan—"
"Right." Sentana menyela ucapan Mandala. "Seharusnya aku tau ngomong sama kamu nggak akan pernah menemukan titik terang apapun. Dari dulu juga seharusnya aku udah sadar kalo wajah kamu aja yang manusia, tapi hati dan nurani kamu lebih buruk dari binatang!"
Deru napas Sentana terdengar terengah-engah, dengan kilat petir berpancar dari obsidiannya yang menggelap.
"Kamu yang berbuat, kamu yang bertanggung jawab. Aku nggak akan membuka satu patah katapun, kalau-kalau ada yang menanyakan hal ini— entah itu ke aku, atau ke kamu, Man."

KAMU SEDANG MEMBACA
Di Atas Kasta
RomancePernikahan yang terjadi tanpa landasan perasaan. Menjunjung tinggi wangsa nan tatanan budaya di masyarakat. Dan mengesampingkan seluruh kebahagiaan. Sentana Loka dan Mandala Bhuana telah terjebak dalam dalih pernikahan yang saling mengikat satu sa...