SINAR yang masuk ke dalam ruangan melalui celah ventilasi menyinari surai Mandala yang terurai, membentang berantakan. Kemudian memantul lembut menyoroti wajahnya, kepada dua netra yang mengerjap pelan, lambat.
Hembusan napasnya menggerogoti perlahan, melewati kerongkongannya yang terasa panas. Sesak menjepit, Mandala meringis. Berat di dadanya tak kunjung hilang sejak semalam. Hal berikut yang Mandala rasakan hanyalah hampa.
Suara dunia luar terdengar jauh, seolah terisolasi. Bagai gema samar yang mengintimidasi. Sinar matahari yang masuk kian dalam, membuat Mandala kembali memejam. Menghindari cahaya yang seolah memaksa Mandala untuk segera menghadapi kenyataan di saat ia sendiri masih berusaha untuk menyesuaikan.
Hari ini, ia terbangun tanpa dekap tangan yang melingkar.
Tidak ada Sentana di sisi ranjang samping.
Air matanya yang kini telah sempurna kering, seolah memberi kesadaran pada Mandala tentang kenyataan yang harus ia hadapi.
Pagi telah datang. Langit telah berubah menjadi biru cerah. Burung gereja mulai terbang membelah cakrawala. Suara angin berdesik sibuk.
Mandala mengusap kedua matanya guna mengusir rasa berat yang membebani di sana. Seperti seseorang yang baru saja tenggelam dalam samudra duka. Pilu menekan-nekan dadanya hingga terasa begitu ngilu.
Malam tanpa tidur. Malam penuh tangis.
Suara langkah kakinya yang menapak di atas dinginnya ubin, terdengar memenuhi ruang kamar milik Mandala— kala sang empunya memutuskan untuk bangkit. Belenggu ingatan semalam tidak bisa menghentikan Mandala. Sebab dunia berputar, tidak berhenti dan menanti Mandala seorang.
Jadi, ia hanya butuh dua puluh menit untuk mengguyur diri dengan air dingin. Menjernihkan pikiran. Menuntaskan tangisnya yang masih mendesak untuk diraungkan— di bawah kucuran air dingin yang menjatuhi surainya.
Ketika obsidiannya menemukan diri sendiri tengah duduk di depan cermin, raut wajah Mandala berubah. Hanya dengan sekali tarikan napas. Mandala terlihat baik-baik saja. Mulai merias wajahnya dengan terampil. Membubuhi warna-warni ke wajahnya bagai kanvas berwarna putih.
Padahal sedang berdarah-darah di dalamnya.
Namun, bertindak seakan tidak terjadi apa-apa.
Raut tanpa emosi itu menatap cukup lama pada cermin di hadapannya. Baik-baik saja, Mandala terlihat bagai tiada beda dengan biasanya. Jadi, ia menghela napas, lega.
Pada derai senyap itu, Mandala melangkahkan kakinya keluar. Mata gelapnya mengedip saat mendapati pemandangan ruang tengah yang menyapanya paling pertama. Benda-benda mati di sana yang menjadi saksi bisu dari pelikan tangis kemarin malam.
Mendengarkan ultimatum perpisahan.
Lantas kemudian, langkah kakinya yang menyusuri anak tangga berhenti di tengah jalan. Sorot matanya menatap terpaku, menunduk untuk menatap pada sesosok yang juga tengah menatap ke arahnya. Terlihat baik-baik saja. Kepalanya yang mendongak bahkan tidak nampak akan berpaling dari tilikan mereka yang beradu.
Detik menit seolah berhenti sejenak di antara hembusan angin yang berlalu. Ada sesuatu yang tak terucapkan, mengalir daripada lembah pandangan yang terasa berharga.
Binar netra yang masih sama.
Sentana dengan pandangan yang tenang dan tegas, memberikan seberkas cahaya yang memantul sedari balik lensa kacamatanya. Terlihat tengah menarik napas teramat dalam saat bahunya berlonjak pelan. Lurus sendu sorotnya. Teduh lembut raut mukanya.
Sulit sekali untuk mempertahankan detak jantung yang kini mulai berdesir nyeri. Tanpa diminta, langkah kaki Mandala kembali menyusur turun perlahan. Sesak napas kembali memenuhi dadanya saat aroma maskulin itu sampai ke indra penciumannya. Membawa serta perasaan hangat yang masih saja terasa, di tengah gemelut dingin di antara mereka.
![](https://img.wattpad.com/cover/365965189-288-k762560.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Atas Kasta
RomancePernikahan yang terjadi tanpa landasan perasaan. Menjunjung tinggi wangsa nan tatanan budaya di masyarakat. Dan mengesampingkan seluruh kebahagiaan. Sentana Loka dan Mandala Bhuana telah terjebak dalam dalih pernikahan yang saling mengikat satu sa...