Chapter 18

11.8K 764 161
                                    

DI sofa kini ia terduduk, memangku macbook yang menyuguhkan jajaran kalimat-kalimat teramat panjang hingga nampak terpantul sedari kacamata beningnya.

Tidak tau sudah berapa lama bokongnya berlabuh di atas sofa empuk ruang tamu tersebut, Sentana bahkan lupa di pukul berapa pulang dari kantor sore tadi.

Menyugar kacamatanya sendiri ke arah surai dan membuatnya bertaut di sana, Sentana memijat pelan pangkal hidungnya yang terasa berdenyut nyeri. Lelah di matanya mulai terasa, membuat Sentana memejam beberapa saat sembari membuang napas kasar.

Sebenarnya, bisa saja Sentana mengerahkan tim untuk melakukan investigasi terkait mundurnya salah satu investor dari proyek pembangunan tersebut. Namun anehnya, ambisi Sentana berkata lain, sebab indikasi penggelapan dana yang terjadi di Sanga Group— justru mengundang praduga Sentana yang berhasil mencium wangi amis dari permainan oknum-oknum serakah di sana.

Dan untuk yang kali ini, Sentana ingin terlibat langsung dalam sebuah proses penyelidikan tanpa terkecuali.

Di tengah-tengah gerak tangannya yang memijat pangkal hidung secara terurut, Sentana dapat mendengar suara pintu yang dibuka seseorang sedari luar. Membuatnya mengarahkan tatapan lurus ke arah pintu dan menanti untuk beberapa saat.

Berkedip singkat usai menangkap kenampakan sosok yang kini melewati koridor di hadapannya, "Kantor kamu bubar jam lima, kenapa jam segini baru pulang?" setelah sedari tadi berfokus pada pekerjaannya dan melupakan waktu secara sempurna, Sentana akhirnya melirik pada jam dinding tepat saat melihat Mandala baru menginjakkan kaki di rumah mereka itu.

Ikut melirik pada arah kedua obsidian Sentana menyorot, "Kenapa? Lagian bukan urusan kamu, 'kan?" pukul sembilan malam, saat Mandala menjawab acuh pertanyaan suaminya itu.

Sentana mengangguk, paham. Tatapannya sempat bertemu dengan kedua iris mata Mandala untuk beberapa saat, sebelum ia memindahkan obsidian itu ke arah paper bag bertuliskan Charles & Keith di tangan kanan istrinya. "Hebat kamu..." ucap Sentana pelan.

"So, everything we did last night was meant nothing to you?" tembak pria itu melayangkan tanya.

Jantungnya bertalu sejenak saat mendapati tatapan sinis yang menjadi balasan kilat dari Mandala saat ini. Apalagi, saat mendapati barang yang menghiasi tangan Mandala— Sentana langsung tau kemana perempuan itu pergi hingga baru kembali di pukul sembilan malam ini.

Naik dan turun kedua manik Mandala menatap. "What did you expect? That you are special to me after last night? I don't know what you want me to say— but you do mean nothing to me." lontarnya, dengan sebelah alis menaik tinggi. Air mukanya bahkan sudah menjelaskan semua— jika perkataannya belum cukup pedas untuk menyadarkan Sentana.

"Oh..." celetuk Mandala. "I bought this bag earlier— with my own money— of course. Nggak usah ngeliatin kaya ini sesuatu hal langka yang nggak pernah terjadi— cause i can literally spend my whole life for shopping." ketus nada bicara Mandala. Menyapu rata pandangan Sentana yang memang sedari tadi tertuju pada tas yang berada di tangan kanannya saat ini.

"Selera tas kamu nggak semurahan itu."

Kembali memakai kacamata yang sempat bertengger di surainya, sorot mata Sentana terlihat tenang teduh saat ia melirik bergantian ke arah Mandala lalu kembali ke tas tersebut.

"Instead of buying that bag for yourself— aku lebih percaya kalo itu dari selingkuhan kamu. Iya 'kan?"

Sentana tau Mandala. Sedari kecil istrinya itu sudah lahir dan dibesarkan di keluarga yang lebih dari cukup— bahkan — sangat amat berkecukupan. Pendidikan berbasis internasional, liburan yang tak pernah tanggung-tanggung, sampai dengan gaya hidup yang melejit selangit. Mandala jelas bukanlah seseorang yang mendadak dalam satu hari membeli tas yang hanya seharga biaya potong rambutnya di salon.

Di Atas KastaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang