Chapter 38

10.9K 1K 659
                                    

HAL pertama yang menyapa Sentana kontan pada indra penciumannya adalah, harum surai yang kini menjuntai nan menutupi separuh dari kulit yang memantulkan sinar mentari dan embun pagi.

Terpukau seperti hari-hari sebelumnya setiap kali ia disuguhi pemandangan indah dari arca hidup yang dipahat teramat rapi. Kehangatan dari aroma parfumnya yang menguar, membuat Sentana menjatuhkan kecupan di pucuk surai.

Menyampirkan dagunya untuk bertopang di atas pundak sempit itu.

Teringat akan hujan yang kini sudah berhenti dan menyisakan dekapannya yang sejak semalam selalu berbalas. Pun rengkuhannya yang melingkar sedari belakang juga dihiasi dengan jemari lentik yang menggengam punggung tangannya. Sejak kemarin malam, Mandala tidak melepaskannya.

Kecupan di atas bahu. Hembusan napas yang menerpa pelan.

"You awake?" bisikan yang disampaikan secara tenang dengan nada rendah dari suaranya yang masih cukup serak. Bertanya untuk memastikan. Sebelum beranjak pergi dengan terpaksa.

Sejatinya masih ingin berlama-lama seperti ini.

Tidak ada jawaban. Nampaknya masih terlelap dalam bunga tidurnya.

Bukan masalah besar, Sentana menikmati hening dengan kedua netra yang terpejam. Membelai pinggang sampai ke perut rata milik calon mantan istrinya. Pelan saja. Lembut.

Sinar mentari yang terlihat dari celah ventilasi seperti menunjukkan bahwa saat ini sedang pukul enam pagi.

Tarik hembusan napas keduanya seirama.

Seperti kemarin malam kala mereka merenggut udara sebisanya. Berakhir dengan menyambut pagi bersama hari ini. Kesampingkan gugatan yang kini dianggurkan begitu saja. Nyatanya dekapan lebih menggoda untuk dilakukan.

Helaian surai Mandala diselipkan ke belakang telinga, dilabuhkan kecupan pada sudut netra yang berair selanjutnya. Sebab kemarin malam, Mandala kembali menangis dalam diam di tengah percakapan mereka sebelum terlelap bersama.

"You were right... Jeremy is the one who treated me the worse..."

"Sometimes we do figured out something was wrong. But i was already too late."

"Do you remember when i said that you belonged to me? I was wrong though... you never belonged to me."

"I'm sorry..."

Sentana menyimpan perasaan pilunya dengan mendekap tanpa lepas sejak semalam. Paham bahwa perpisahan yang mereka pilih adalah jalan yang bukan mudah, Sentana hampir terjaga semalam suntuk untuk memutuskan masa depan hubungan mereka.

Akan tetapi untuk kali ini ia akan mendahulukan logikanya di atas perasaan. Ia harus teringat bahwa yang Mandala inginkan adalah suatu perpisahan. Mungkin saja memang harus begini jalan yang mereka tempuh.

Berpisah agar tak saling menyakiti.

Bohong jika Sentana tidak menginginkan perbaikan hubungan di antara mereka. Kenyataan yang sebenarnya adalah Sentana menanti Mandala untuk menarik ucapan perpisahan yang telah perempuan itu lontarkan.

Namun, sampai pagi tiba pun tidak kunjung terucap.

Bertahan semalaman ternyata tidak menggerakkan hati Mandala untuk kembali pulang kepadanya. She was never belonged to him. Bahkan Sentana kini mulai meragukan kebenaran bahwa Mandala sedang mengandung buah hati mereka. Sebab jika saja benar begitu— setidaknya janin tersebut yang akan berusaha mengikat mereka— akan tetapi, nihil.

Di Atas KastaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang