Chapter 41

13.5K 1.3K 464
                                    

CAKRAWALA tanpa gumulan awan di langit pekat nan gelap. Lantunan musik di radio menemani di sepanjang jalan raya lurus tanpa tikungan. Lampu pijar yang menerangi berpadu dengan cahaya bulan yang bersinar.

Malam ini jalanan tidak ramai.

Selepas hari penat yang dihabiskan hanya berada di kantor, tiba petang yang siap mendekap dengan nyamannya geluman. Namun sebelum itu semua, masih ada perihal yang harus Mandala selesaikan. Pertemuan yang tidak dapat ia lewati.

Melancarkan setir kemudi yang ia kendalikan. Angin dingin masih terasa sampai ke dalam mobil. Sesekali Mandala menghela napas seolah kegiatannya dapat membawa sedikit hangat.

Dua menit lagi akan segera tiba.

Persimpangan jalan yang menunjukkan keberadaannya sudah semakin dekat, Mandala mendadak membuang napas sebab merasa merinding, pun detak jantungnya perlahan mulai berpacu.

Tiba-tiba gugup. Datang tanpa diundang. Tiada permisi.

Buru-buru Mandala hempas dengan berdeham. Sedangkan tangannya dengan terampil memarkir mobil. Pada halaman restoran tempatnya membuat janji. Beralih kemudian dengan tatapan terpakunya pada mobil yang baru saja datang selang beberapa detik usai dirinya.

Mandala mengulum bibirnya pelan. Diam-diam mencuri lirik untuk mematut wajahnya kilat. Helaian surai yang sedikit menutupi wajah ia selipkan ke belakang telinga. Untuk kemudian menyudahi kegiatannya dan membuka pintu mobil hati-hati.

Seharusnya Mandala singgah terlebih dahulu untuk membeli blazer atau cardigan sebelum bepergian kemari, sebab waistcoat yang tengah dikenakannya ternyata tidak cukup bersahabat dengan suasana malam hari.

Angin yang menerpa kulitnya bagai menusuk tepat sampai ke tulang saat pintu mobil dibuka.

Berdiri dengan surainya yang terurai nan panjang. Tatapannya yang belum berpindah kini nampak mengawang. Mematri setia setiap pergerakan yang diciptakan. Sadar penuh, mengulas senyum tipis saat kedua netra mereka bertemu.

Tiba di satu waktu yang sama.

Langkahnya yang kian dekat, membawa serta harum woody yang terasa hangat. "You'll catch the cold." diucapkan sembari menedungi bahu Mandala dengan jasnya. Baritonnya mengundang Mandala untuk mendongak, obsidian yang bertemu seketika terkunci untuk sesaat, saling mematri.

Menahan diri untuk tidak tersenyum lebih lebar saat mencium wangi maskulin yang memenuhi dirinya saat ini, sedari jas yang tersampir pada bahunya. Mandala tidak menolak sebab memang terasa hangat dan nyaman begini. Bagus untuk dirinya dan anaknya agar tak kedinginan malam ini.

Sudah dua minggu berlalu. Tidak ada yang berubah dari caranya menatap. Bahkan alisnya yang menaik dengan senyum sudut itu terlihat tidak berkurang menawannya. Meski kini ada batas yang mungkin sedang mereka jaga. Sebab tungkai yang melangkah masuk beriringan itu tidak dibarengi dengan rengkuhan pada pinggang seperti sebelumnya.

Diarahkan untuk duduk berhadapan pada sebuah meja.

Senyum yang tercipta penuh makna. Berlangsung diam hingga pelayan berlalu dari meja mereka usai mencatat pesanan keduanya. Kini hanya bersisa gerak-gerik obsidian yang menilik lekat lalu menjadi lamat.

Menarik napas lantang untuk dihembuskan perlahan. "How are you doing?" terucap dari lisan Mandala yang tidak tahan atas suasana hening di antara mereka.

Pertanyaan atas penyesuaian yang terjadi sejak gugatan itu datang dan secara resmi keduanya hidup terpisah.

Dibalas dengan riak wajah yang begitu santai, menanggapi dengan senyuman. "I'm fine." hanya prasa singkat yang dilontarkan untuk membalas pertanyaan Mandala.

Di Atas KastaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang