PERASAAN Sentana terasa begitu mengganjal sekarang. Sudah dua jam sejak jam pulang kantor Mandala berlalu, dan perempuan itu belum juga nampak batang hidungnya di rumah mereka.
Terlebih, setelah pesan tidak menggenakan dari Mandala ia terima di ponselnya, Sentana semakin gelisah.
Beberapa jam lalu, mereka masih bertemu, saling tersenyum pada satu sama lain. Kehadiran Sentana diterima baik oleh Mandala, dan wajah Mandala juga berseri saat Sentana singgah ke kantornya. Bahkan, mereka sempat saling mendekap sebelum Sentana diminta pulang oleh Mandala.
Seharusnya mereka baik-baik saja.
Namun, pertanyaan-pertanyaan tentang maksud dari pesan terakhir Mandala, masih berputar dalam benaknya. Terlebih perempuan itu tidak lagi dapat Sentana hubungi.
Besar kemungkinan, Mandala telah mengetahui berita itu.
Tentu saja, Sentana sudah menebak bahwa respon pertama Mandala terhadap berita tersebut adalah marah. Di saat perempuan itu tak mengetahui kenyataan sebenarnya dari kasus yang tengah diberitakan, maka, menyalahkan Sentana adalah jalan paling cepat yang sudah pasti akan ditempuh Mandala.
Dan itulah kenyataan yang tengah dihadapi Sentana saat ini.
Mandala belum pulang, pasti sedang marah besar.
Bahkan sejak tadi duduk Sentana tidak tenang sama sekali. Jangankan duduk tenang, bernapas pun terasa sulit. Tercekat, berhenti di kerongkongan seolah sengaja menyiksa Sentana hidup-hidup.
Biasanya, Sentana pandai mengendalikan situasi. Namun, kali ini terasa berbeda. Ada ketakutan asing yang menghantui.
Semoga, tidak berakhir runyam.
Semoga, tetap baik-baik saja.
Bahu lebarnya mendadak berubah menjadi begitu tegap, tepat ketika mendengar suara deru mesin yang nampak tengah berada di depan halaman rumahnya. Beberapa menit Sentana terpaku, mencerna, untuk kemudian berusaha membuang napas perlahan-lahan.
Harus tetap tenang. Dan berterus terang.
Mungkin, beberapa test pack yang Sentana beli saat perjalanan pulang tadi, nantinya akan menyambut mereka dengan kabar bahagia malam ini.
Tapi untuk saat ini, ia akan menanti Mandala masuk ke dalam.
Satu menit, hanya hening yang tercipta saat Sentana menunggu. Dua menit, suara denting ubin yang dipijak oleh tungkai Mandala, perlahan mulai terdengar sampai ke indra pendengaran Sentana. Tiga menit, dua iris yang menunjukkan sorot berbeda itu akhirnya bertemu, berhadapan.
Pandangan Sentana luruh, khawatir tergambar paling jelas. Sementara, sorot nyalang dengan pendar dingin itu tersirat dari obsidian Mandala.
"We need to talk."
Sentana tidak segera menjawab, fokusnya tertuju pada wajah Mandala yang terlihat pias. "Kamu abis dari mana—"
"Do you really care?" Mandala berdecih sinis. Tatapannya yang nampak linglung terlihat tengah menahan air mata luruh. "Or are you just being nice, because you're hiding another lie?" tandasnya, datar, berani.
Sentana menarik napas lantang sembari memejamkan mata sejenak. Kakinya melangkah sekali, hendak mendekat pada Mandala, namun Mandala justru melangkah mundur ke belakang.
"What are you talking about? Aku tanya kamu dateng dari mana?" Sentana masih berusaha untuk mendekati Mandala. "Let's grab something to eat. Kamu pasti belum makan sejak pulang kantor 'kan?" pergerakan Sentana berhasil meraih pergelangan tangan Mandala, menggenggamnya erat.
![](https://img.wattpad.com/cover/365965189-288-k762560.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Atas Kasta
RomantikPernikahan yang terjadi tanpa landasan perasaan. Menjunjung tinggi wangsa nan tatanan budaya di masyarakat. Dan mengesampingkan seluruh kebahagiaan. Sentana Loka dan Mandala Bhuana telah terjebak dalam dalih pernikahan yang saling mengikat satu sa...