BERGERAK seolah terburu, langkah kaki Narina dalam setelan heels delapan sentimeter itu, terlihat mengarah lurus kepada Lexus LS yang nampak berhenti tepat di depan gedung perusahaan.
Milik Sentana.
Masuk ke dalamnya, sesaat tidak ada sapaan kala sang empunya memandang ke arah jalanan di depan sana. "Siang, pak." jadi, Narina memutuskan untuk menyapa lebih dulu.
Hari ini, ia diminta untuk menemani Sentana untuk mengunjungi proyek mereka di Kintamani. Pukul sebelas siang saat Narina memasuki mobil milik Sentana. Mendapati hanya ada sang atasan yang berada di dalamnya. Tentu, ada sedikit perasaan gugup yang melanda.
"Siang. Sudah selesai semua urusan di dalam? Bisa berangkat sekarang, Narina?" balas Sentana. Melirik cukup lama ke arah Narina yang duduk di sebelahnya.
"Sudah, pak, bisa."
Sahutan Narina dilanjut dengan suara mesin mobil yang menyala, lalu pergerakannya halus membawa dua orang itu melesat pergi.
Diam-diam, Narina memperhatikan. Ini adalah kali pertamanya bepergian langsung dengan atasan di tempatnya bekerja. Sebelumnya tidak pernah. Bersama Sentana kali ini adalah yang perdana. Tentu, Narina sebetulnya memiliki pertanyaan, namun sebaiknya disimpan saja. Sebab memang apa lagi yang akan terjadi kalau bukan jabatannya akan dipromosikan setelah ini? Narina harus kalem, dan menunggu dengan apik.
"Kamu sudah tau bagaimana progress proyeknya, Narina?" tanya Sentana memecah hening.
Kontan menaikkan alis dengan raut gugup yang masih bertahan, "Sudah, pak. Saat ini sedang fokus pada proses finishing. Beberapa kendala yang ada di lapangan juga sudah segera teratasi, pak." Narina membalas dengan cukup rinci.
"Itu artinya kamu punya semua bentuk dokumen dan dokumentasi progress proyek ini, ya?"
"Ada di laptop saya, pak."
Sentana mengangguk. Mengarahkan setir mobilnya mengikuti jalanan yang tengah menikung, setelahnya, menoleh kepada Narina yang kebetulan tengah menatap ke arahnya. "Kalo gitu nanti kamu tunjukkan kepada saya semua berkas-berkasnya di lokasi."
"Tapi, pak..." Narina membalas cepat, berakhir dengan menggantung kalimat. "Itu, laptop saya, ada di rumah, pak..."
Sentana menaikkan kedua alisnya. Rautnya datar, tenang. "Kalo gitu kita bisa ambil laptop kamu dulu. Masih ada waktu, nggak masalah." langsung membalas tanpa perlu berpikir dua kali sebelum mengambil keputusan dalam kalimatnya tersebut.
"Rumah kamu di mana?"
"Di Canggu, pak."
Senyum Sentana terulas, tipis.
Menghidupkan sein mobilnya ke arah kiri, saat lampu merah menghentikan mobil mereka, Sentana menatap pada lalu lalang kendaraan yang berada di seberang mobilnya. "Jauh, ya, berarti kamu dari Canggu ke kantor?"
Letak kantor Prajaloka adalah di ibu kota, akan memakan waktu satu jam paling cepat untuk sampai ke kantor— kalau sedang tidak macet.
Narina mengangguk, mengiyakan. "Lumayan, pak." balasanya seadanya.
Berdeham ketika lampu berubah menjadi warna hijau, "Kamu di sana tinggal sendiri atau gimana?" diam-diam Sentana melirik dengan senyum yang semakin mengembang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Atas Kasta
RomancePernikahan yang terjadi tanpa landasan perasaan. Menjunjung tinggi wangsa nan tatanan budaya di masyarakat. Dan mengesampingkan seluruh kebahagiaan. Sentana Loka dan Mandala Bhuana telah terjebak dalam dalih pernikahan yang saling mengikat satu sa...