Chapter 20

13.7K 698 119
                                    

SAAT fajar mulai merekah, langit timur perlahan-lahan berpendar dengan semburat jingga. Dari balik cakrawala sang surya menampakkan kehadirannya. Menciptakan bayangan yang menari-nari di atas rerumputan nan basah oleh embun.

Kicau burung adalah pendamping bagi segala insan dengan kutat kesibukan mereka. Deru angin yang berhembus sejalan dengan laju kendaraan. Salip menyalip mengejar arah tujuan. Pun dalam sekejap, langit jingga hangat itu telah berubah menjadi biru terang yang berpadu.

Normalnya, Mandala akan berada di kantor pada rentang waktu sepagi ini. Tapi hari ini akan sedikit berbeda, sebab tempat pertama yang menjadi pelabuhannya adalah sebuah cafe terkenal yang pengunjungnya masih dapat dihitung jari.

Tidak datang sendiri, Mandala bersama Chandra pagi ini. Siang nanti akan ada pertemuan bisnis yang harus mereka hadiri. Membuat keduanya memutuskan untuk tidak perlu datang ke kantor dan sepakat bertemu di cafe ini.

Menjadi seorang pebisnis memang gampang-gampang susah. Sewaktu bisnis yang di emban tengah naik daun, maka duduk santai pun penghasilan tetap mengalir.

Namun, lengah sedikit saja, semua dapat terjun bebas hingga merosot ke dasar jurang.

Jadi, tak jarang para pebisnis dari segala usia— harus memasang topeng ramah mereka untuk melebarkan sayap relasi. Hubungan antar manusia adalah kunci utama dalam suatu bisnis.

Segelas chai tea latte panas yang semula dipesan oleh Mandala kini terlihat mulai menimbulkan buih uap di sekeliling gelas. Menandakan minuman panas itu mulai terkena hawa dingin dari ruangan tertutup tempat dua perempuan itu duduk rapi.

Namun, sang puan belum berkehendak untuk merasakan barang satu isap saja. Menyentuhnya pun belum.

"Kok bengong sih, Man?" Chandra berkilah dengan tanya.

Kedatangan mereka kemari adalah untuk membahas materi yang akan keduanya sampaikan dalam pertemuan bisnis siang nanti. Tentu saja tidak jauh-jauh dari produk kecantikan milik brand mereka yang akan segera di rilis kepada publik dalam waktu dekat.

Akan tetapi, sudah tiga puluh menit mereka berada disana— Mandala belum juga membuka suara tentang topik tersebut.

"Can, walaupun kayanya aku udah pernah cerita tentang ini— tapi aku masih mau minta pendapat kamu sampe aku puas."

Kali ini Mandala akhirnya berbicara.

Sejenak ia meraih gelas berisikan minuman yang ia pesan tadi— menyesapnya pelan, lantas tatapan kosong itu kini perlahan terarah kepada Chandra di sebelahnya.

"Sex assault in married life, itu beneran ada 'kan, Can? Beneran bisa di kasusin 'kan?" seloroh Mandala saat mendapati raut Chandra yang menunggunya untuk melanjutkan bicara.

Baik, untuk saat ini respon tercepat Chandra adalah menghembuskan napas.

Sejenak ia berpikir bahwa Mandala akan meminta pendapatnya untuk sesuatu hal penting— mengingat temannya itu, semakin tua semakin irit bicara untuk hal yang tidak penting. Tapi, mendengar pertanyaan Mandala sekarang, Chandra benar-benar langsung tau kemana arah pembicaraan mereka akan melalang.

"Topiknya itu terus, bosan ah!" tanggapan Chandra terlampau jujur.

Mendecak, Mandala menggelengkan kepala kontan sesaat ia mendengar jawaban yang keluar dari lisan temannya saat ini. "Tapi kali ini beda tau," katanya. "Kemarin-kemarin tuh bukti yang aku punya masih kurang...? Soalnya dulu aku jarang banget chatan sama Sentana— to the point, dia nggak pernah assault aku secara tertulis."

Sembari berucap, Mandala kembali mengingat-ingat riwayat kehidupannya bersama Sentana dahulu.

Mereka memang minim komunikasi.

Di Atas KastaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang