BAGI Mandala dan Sentana, panggung opera sabun mereka untuk bertingkah layaknya sepasang suami istri bukan hanya pada ruang publik yang dipenuhi mata-mata nakal para penggosip. Namun panggung sandiwara mereka juga turut keduanya mainkan di rumah mereka sendiri, di tempat tinggal yang jauh lebih layak untuk disebut neraka.
Mereka tau betul bahwa pernikahan mereka tidak dapat diselamatkan bagaimanapun caranya.
Namun, Sentana dan Mandala tau bagaimana cara untuk menutupinya. Setidaknya untuk kedua orang tua dari kedua belah pihak, mereka menutupi semuanya.
Berlagak menjadi yang paling manis jika seseorang berada di sekeliling mereka. Saling memandang dengan tatapan terpuja dan menjatuhkan kecupan pada kening masing-masing. Bukankah semua orang menduga pernikahan akan seindah itu? Maka, Sentana dan Mandala wujudkan angan-angan manusia penuh fantasi itu, jika mereka berada disekeliling keduanya.
Seperti pagi ini, Mandala harus benar-benar menahan diri untuk tak bersikap seenaknya dan duduk di hadapan Sentana untuk sarapan pagi bersama— ala keluarga bahagia di sinetron laga Indosiar.
Setidaknya, Mandala lakukan ini karena seorang asisten rumah tangga sedang berada di kediaman mereka.
Hanya sebatas itu.
Sebab Mandala tau betul bahwasanya Mbok Yan, asisten rumah tangannya itu adalah orang suruhan dari kedua orangtua Sentana.
Bukankah mereka sudah mati-matian menutupi pernikahan mereka yang hancur lebur itu di mata semua orang selama dua tahun 'kan? Maka, biar saja, Mandala akan tetap ikut dalam permainan ini.
"Dari buku yang aku baca, cinta seorang ibu tumbuh setelah melahirkan dan cinta seorang ayah tumbuh bersama dengan perkembangan anaknya..."
Kalimat cukup panjang itu berhasil mengambil atensi Mandala pada Sentana dan suara bariton berat pria itu yang duduk di seberangnya.
"Jadi, ibu tanya, kamu nggak mau coba dulu?"
Sepasang mata tajamnya sempat melirik sejenak sebelum perempuan yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya itu, bangkit dari duduk manisnya. "Atur aja." dengan nada tenang ia mengimbangi pembicaraan mereka.
Sentana berhenti mengunyah.
Arah pandangan Sentana kini mengikuti kemana istrinya melangkah. Kepalanya sampai menoleh kebelakang untuk meyakinkan bahwa apa yang didengar oleh telinganya sedetik yang lalu adalah kenyataan. "Nggak mungkin banget sih kamu tunduk gitu aja mentang-mentang ini ibu yang minta, ya nggak sih Man?"
"Atur aja? Ck—" Sentana berdecak heran. "Kayak kamu mau aja hamil anakku," tidak biasanya Sentana menerima sebuah kesepakatan dengan jalan yang mudah ketika itu menyangkut tentang Mandala, istrinya. Sebab Sentana selalu mengingat baik-baik pola percakapannya dengan sang istri. Berurat, alot dan penuh sarkas. Jarang sekali mereka duduk tenang damai bahkan setelah sudah dua tahun berlalu.
Menenggak habis air mineral yang berada didalam gelas genggamannya. "Loh? Emang kamu pikir jawaban aku itu artinya aku setuju kita punya anak ya, Sen?" perempuan itu membalikkan pertanyaan.
"Ya, iya kali? 'Kan kita lagi ngomongin kapan mau kasih cucu ke ibu?"
Tidak terganggu dengan jawaban yang dilontarkan oleh suaminya, beberapa saat Mandala tetap melanjutkan kegiatannya dan membiarkan Sentana dirundung pertanyaan. Memasukkan ini dan itu kedalam tas dengan telaten tanpa berniat untuk menanggapi langsung pernyataan Sentana.
Melangkah mendekat pada Sentana yang menoleh untuk menuntut jawaban, Mandala tersenyum saat ia berdiri di sebelah suaminya. "Maksud aku tuh, atur aja otak kamu yang mesum ini lho..." Mandala tak ragu untuk mengusap surai suaminya yang telah ditata rapi pagi ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Di Atas Kasta
RomancePernikahan yang terjadi tanpa landasan perasaan. Menjunjung tinggi wangsa nan tatanan budaya di masyarakat. Dan mengesampingkan seluruh kebahagiaan. Sentana Loka dan Mandala Bhuana telah terjebak dalam dalih pernikahan yang saling mengikat satu sa...