"Nyuci bajumu sendiri aja belum becus, sok mau jadi relawan.”
Sore-sore, matahari masih lumayan terang, Ibu sedang mengomel dan mengabsen apa-apa saja alasan yang akan menjegal terkabulnya permohonan yang kucetuskan kemarin.
“Tempat itu jauh,” sambungnya sambil mengaduk kuah sayur di wajan. “Kau itu sering sakit. Mau mengantar nyawa ke sana?”
Alasan pertama aku tak boleh pergi, ialah belum becus mencuci baju sendiri. Alasan kedua, aku gampang sakit. Di lorong menuju ruang depan aku berjongkok sambil berusaha mendengarkan.
“Udahlah, Ser. Jangan aneh-aneh.” Ibu mematikan kompor. Pekerjaan memasak lauk untuk malam hari selesai, beliau pergi ke depan.
Aku mengekori. Masih belum menyerah. Bagaimana juga, Ibu harus dipaksa setuju, supaya perjalananku nanti lancar jaya.
Uh, kusebut itu perjalanan. Membayangkannya saja sudah senang sekali. Rasanya tak sabar menjadi manusia yang berguna bagi semesta untuk pertama kalinya.
“Udah mulai gila kau, Serin?”
Rupanya Ibu menangkap senyum senangku barusan. Bukannya memuji aku cantik, dia malah mengatai gila. Memang, ya? Ibu ini agaknya benar tak sayang padaku.
Kalau dipikir-pikir lagi, memang pantas Ibu tak sayang padaku. Bayangkan saja, di umur segini aku masih menumpang di rumahnya. Bukan hanya menumpang tinggal, aku juga menumpang makan.
Saat orang-orang seusiaku sudah punya karir bagus, dan memberikan cucu, aku masih terus jadi beban keluarga. Aku sedih dengan fakta itu, tetapi mau apa lagi? Dipaksakan mengubah keadaan pun rasanya hanya menambah masalah.
“Mending kau itu cari calon suami.” Di kursi dekat pintu, sambil membuat simpul di ujung benang, Ibu berkata.
Sudah kuduga ini akan diungkit. Berbaring di depan televisi, aku mendengarkan saja.
“Menikah, punya anak. Itu lebih masuk akal daripada mau jadi relawan. Memang kau bisanya apa?” Mencibir sekali nada bicaranya itu.
Aku sadar sedang diremehkan. Namun, mau membantah dengan apa kalau kenyataannya memang demikian. Jadi, aku tutup mulut lagi.
“Lagian, uang dari mana memberangkatkanmu ke sana? Kau kira gaji bapakmu berjuta-juta?”
Itu juga benar. Tempat yang ingin aku tuju ini jauh sekali dari rumah. Menyeberang pulau, ke ujung dunia. Namun, justru di situ letak serunya.
Terdengar tidak tahu diri memang keinginanku ini. Namun, namanya juga keinginan. Kalau biasa saja, mana nikmatnya?
“Kalau Bapak ada uangnya, Mamak kasih izin, ‘kan?” Aku bertanya penuh harap.
Ibu langsung memicing galak. “Berani kau minta uang segitu ke bapakmu?”
Kepalaku mengangguk. Ini demi impian yang jarang-jarang aku punya. Kapan lagi senekat ini?
Ibu terdengar berdecak-decak. Ia kembali menatap pada celana yang sedang dijahit. “Kalau kau yang minta, bapakmu nggak mungkin nggak ngasih, ‘kan?” Wanita itu mengejek.
“Siapa tahu ada simpanan Bapak,” sahutku cepat.
Menghela napas, Ibu kemudian berkata, “Terserahmulah, Ser. Tapi kalau nggak ada uang bapakmu, jangan kau paksa. Jangan sampai dia ribut gara-gara ini. Kuusir kau dari rumah.”
Iyes. Izin untuk meminta uang sudah didapat. Saatnya merancang kata-kata yang mampu membuat bapak mengeluarkan simpanannya.
***
Menjadi relawan, ikut kegiatan pengabdian. Baru ini aku pernah mencari tahu apa-apa saja yang dilakukan dan bagaimana prosesnya. Rasa penasaran ini bermula karena seseorang yang aku lihat di media sosial melakukannya. Memang sebegitu besar, ya, dampak media sosial sekarang.
Kusebut dia idola. Apa yang ia lakukan, kegiatan sosialnya itu, ditambah parasnya yang tampan, dan pekerjaannya yang juga bergengsi membuat aku terkagum-kagum. Dia seorang dokter.
Idolaku itu membentuk sebuah komunitas yang kegiatannya adalah datang ke daerah terpencil dan memberi pelayanan di sana. Nah, dalam tiap kegiatan, selain mengandalkan anggota tetap, kelompok itu juga memberi ruang bagi orang luar yang ingin bergabung.
Aku tertarik ingin ikut. Seumur hidup, baru kali ini aku merasa ingin ambil peran dalam sebuah kegiatan sosial. Biasanya, hal-hal seperti itu selalu luput dari radar atensi.
Rasanya kegiatan itu sangat bermanfaat. Sangat baik dan berguna bagi orang lain. Dan tentu saja, kegiatan itu pasti akan menarik karena yang memimpin adalah si mas idola.
Alasan terakhir tentu tak kusinggung pada Bapak saat menjelaskan apa untungnya jika aku ikut dalam kegiatan sosial tadi. Beliau bisa menuduh kalau aku hanya kepengin bertemu si idola dan main-main. Kalau sudah begitu, jelas tidak akan ada pencairan dana.
Habis makan malam tadi aku mengajak Bapak bicara. Kuberitahu aku ingin ikut kegiatan apa. Di mana daerah tujuannya. Apa saja yang nantinya akan dilakukan di sana. Berapa hari aku akan di sana. Dan yang paling penting jumlah uang yang harus bapak gelontorkan karena aku mendaftar lewat jalur biaya mandiri.
Setelah mendengar penuturan panjangku, Bapak terdiam. Beliau terlihat fokus pada layar ponsel, tetapi aku tahu dia sedang menimbang. Bagus. Ini artinya uang yang kuminta ada.
Biasanya, kalau Bapak tidak punya uang, dia akan bilang terus-terang. Sedang sekarang ia diam. Artinya, ia sedang berpikir, mencerna dan membuat keputusan.
Dua puluh menit sudah aku menunggu. Kupasang sabar seluas mungkin, sebab kalau memang ingin bisa pergi, satu-satunya cara adalah lewat bantuan Bapak. Tabunganku hanya beberapa ratus ribu. Jelas tidak akan cukup.
Meminjam pun, mau pada siapa? Adik-adik jelas punya kebutuhan mereka masing-masing, terlebih mereka tinggalnya di luar kota. Jadi, tak ada pilihan lain selain uangnya bapak.
“Memangnya,” ucap Bapak setelah sekian lama tak bersuara. “Kau yakin bisa ikut kegiatan begituan? Nggak takut perutmu kumat pas di sana?”
Oke. Hal itu masuk akal. Aku juga memikirkannya. Sebagai seorang yang maaghnya bisa kambuh dengan mudah aku juga was-was. Namun, tekad untuk merasakan pengalaman dari kegiatan mengabdi ini rasanya bisa mengalahkan ketakutan itu.
“Aku bisa bawa obat,” jawabku memberi pembelaan. “Lagian, ini juga sekalian jalan-jalan. Harusnya aman-aman aja.”
Bapak diam lagi. Ia menggulir layar beberapa kali. “Tapi itu jauh kali,” sanggahnya lagi.
“Justru itu. Banyak tempat cantik di situ. Pengalaman. Kapan lagi aku jalan-jalan, ‘kan? Selama ini, seumur hidup, aku enggak pernah ke mana-mana.”
Itu bukan kebohongan. Seumur hidup aku memang tak pernah ke mana-mana. Hidupku hanya berputar pada rumah dan kamar. Paling jauh, ya, rumah nenek.
Bapak menghela napas. Ia menatapku dengan mata runcing. “Apa, sih, yang mau kau kejar ke sana?”
Tersenyum kuda, aku menjawab bak orang benar. “Pengabdian. Kan ini kegiatannya mengabdi. Kasih sesuatu yang orang-orang di sana kurang.”
Tersenyum miring, Bapak Martin yang terhormat itu menatap penuh ejekan. “Gayamu,” cemoohnya langsung.
Tertawa saja, aku menatap penuh harap. Apa Bapak akan segera memberi keputusan?
“Memang yang ikut nggak diseleksi dulu?” tanya beliau.
Aku mengangguk. “Ada. Tapi, kan, aku ikut jalur yang bayar sendiri. Semoga aja syarat lulus seleksinya enggak sesusah yang dibayarin.”
“Kalau misal aku nggak kasih uangnya, kau mau apa?”
Senyumku langsung luntur. “Sayanglah. Belum tentu tahun depan kegiatan kek gini ada lagi. Terus, belum tentu juga pas ada lagi aku pengen ikut. Ini, tuh, langka, Pak. Kapan aku pernah peduli sama hal-hal sosial begini? Kawan aja aku cuma punya beberapa biji.”
Bapak kembali memainkan ponselnya. Sampai pukul sembilan malam, aku tak mendengar keputusan apa-apa. Kukira mimpiku sudah pupus. Namun, besok paginya aku menemukan segepok uang di meja belajar di kamar.
Oke. Tampaknya, aku akan segera bertemu dengan si mas idola. Iyes.
...
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream Journey
RomanceSerin begitu mengidolakan Yugi, hingga nekat ikut dalam kegiatan sosial yang pria itu gagas, meski tanpa pengalaman. Berada jauh dari rumah, melakukan kegiatan pengabdian, bisakah Serin bertahan? Mampukah dia memetik sesuatu dari perjalanan itu?