Demam kemarin membuatku sampai harus diinfus. Tidak lama memang. Pagi ini bang Yugi sudah melepasnya. Setelahnya, dia memberikan obat dan vitamin untuk aku minum. Tak ada kegiatan pagi ini, siang nanti baru ada kerja bersih-bersih di salah satu sungai.
Setelah sarapan, aku dan kak Fani duduk dan mengobrol di depan rumah. Seperti biasa, perempuan itu bercerita soal banyak hal. Pengalamannya, kerja kerasnya membangun usaha yang dirintis sekarang, bahkan dia percaya menceritakan tentang keluarganya.
"Mama gue itu batak. Dan kayak cerita lo waktu itu tentang janda yang ngehidupin empat anaknya. Mama gue juga sempat buka warung minum, jual tuak."
Dia lanjut bercerita. "Dan kayak yang lo bilang, kebanyakan orang menghakimi kami, tanpa memberi solusi apa-apa."
Mataku menyipit padanya. Aku sudah belajar. Dia ini mudah sekali membuatku percaya. Padahal, yang dia katakan belum pasti benar.
"Lo nggak percaya?"
"Kakak sering ngerjain aku," ucapku membela diri.
"Ini nggak bohongan." Dia mengangguk untuk meyakinkan. "Karena itu sejak dengar cerita lo itu, gue jadi ngerasa kita ini dekat."
"Gue nggak membenarkan apa yang dikerjain tetangga lo itu. Tapi, pemikiran lo menarik. Nggak banyak orang yang bisa mikir sampai sana. Gue yakin, kurangnya lo waktu itu cuma satu. Lo nggak punya uang buat bantu tetangga lo itu."
Dia benar. Bagaimana mau membantu? Aku saja hidup susah, menumpang pada ayah dan ibu.
"Pasti waktu itu buat sekadar kasih saran supaya ibu itu berhenti dari tempat pijat, lo nggak berani."
Aku tersenyum penuh sesal. "Di dunia ini nggak cukup cuman memberi saran. Apalagi keadaan ibu itu serba kejepit. Aku enggak punya jalan keluar apa-apa."
Kak Fani menepuk-nepuk punggungku. "Laki-laki memang anjing semua," katanya sarat kebencian.
Aku menoleh. Otakku mulai membuat jalinan cerita dari kisah yang pernah kak Fani bagikan soal mantan pacarnya yang ia putuskan karena mengajak menikah. Satu kesimpulan janggal langsung muncul di kepala.
"Kak, jangan bilang sampai sekarang kamu belum nikah karena kepikiran perbuatan ayahnya kakak?"
Dia melirik cepat. "Otak lo jalannya cepet juga, ya."
Oh. Jadi begitu. Gantian aku yang menepuk-nepuk punggungnya. "Biasanya, dari sekian banyak kacang yang gagal panen, pasti ada satu dua yang masih bisa dimakan, kok. Banyak-banyak minta aja."
Dia tertawa sinis. "Mulut lo pinter banget nenangin hati orang, ya?"
"Biasanya yang nggak nggak tahu apa-apa paling jago ngasih wejangan," balasku dengan senyum yang kubuat semanis mungkin.
Tak berapa lama kemudian bang Yugi datang. Sepertinya dia baru pulang olahraga bersama bang Renhard dan yang lain. Pria itu duduk di sebelah, samar-samar aku merasakan panas dari tubuhnya.
Ya ampun, Serin! Begitu saja jantungku sudah heboh. Dasar jantung kampungan, mudah sekali baper.
Pura-pura biasa saja, aku meminjam ponsel kak Fani untuk main gim. Untungnya kak Fani masih bercerita, jadi otakku sedikit teralihkan dari lengan keras yang agak berkeringat yang beberapa kali menyenggol lenganku. Untung imanku masih sisa secuil. Kalau tidak, sudah kuseruduk dia ini. Pesonanya tak main-main.
Berusaha mengabaikan orang di kananku, pada akhirnya aku menyerah juga. Tembok sok tidak peduli itu runtuh saat kulihat dia agak kesusahan memutar tutup botol air. Mungkin karena tangannya ikut berkeringat, karena itu jadi licin. Atau dia memang sedang malas mengeluarkan tenaga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream Journey
RomanceSerin begitu mengidolakan Yugi, hingga nekat ikut dalam kegiatan sosial yang pria itu gagas, meski tanpa pengalaman. Berada jauh dari rumah, melakukan kegiatan pengabdian, bisakah Serin bertahan? Mampukah dia memetik sesuatu dari perjalanan itu?