"Udah mau berangkat?" Aku menyuarakan pertanyaan itu di ruang tengah apartemen Yugi.
Lelaki yang sedang menggulung lengan kemejanya itu mengangguk. Hari kedua di tempat bang Yugi, aku diajak jalan-jalan sejak pagi. Kami sarapan di luar, ke salah satu mal terkenal di sini sekadar melihat-lihat, ke hotel dan tentu saja mengunjungi monumen populer yang menjadi ciri khas ibu kota.
Kami baru kembali setengah jam lalu, Yugi langsung bersiap untuk ke rumah sakit. Hari ini dia kebagian shift siang katanya. Lelaki itu akan segera berangkat, sepertinya aku belum bisa mengajaknya bicara.
"Kenapa, Sayang?"
Aku menyusul ke sofa. Kubantu dia menggulung lengan kemeja sebelah kanan. "Aku belum sempat kasih tahu ngapain aku tiba-tiba datang ke sini," beritahuku.
"Loh? Ngapain kasih tahu? Aku udah tahu, kok," balasnya antusias.
"Apa?" tantangku.
"Kamu mau tinggal di sini, bareng aku, hidup bahagia sama aku. Selamanya." Usai mengutarakan ide asalnya itu, dia tertawa. "Sayaang, nikah aja, yuk? Aku, tuh senang banget tadi pagi pas bangun langsung lihat kamu."
Aku berdecak-decak malas. Selesai menggulung kemeja, aku menatap dia serius. "Niatku datang memang untuk mikirin ajakanmu itu. Aku ... kalau kau berkenan, mau ketemu keluargamu."
Seminggu di sini, aku berharap bisa menemukan hal-hal yang mampu meyakinkan diri. Bertemu dan mengenal keluarga bang Yugi, sekaligus mencari tahu apa aku mendapat restu atau tidak. Lalu, tentu saja memeriksa apa benar Yugi tak punya hubungan spesial dengan perempuan bernama Anita itu.
Di depanku kini, Yugi ikut memasang ekspresi serius. Kurasa dia sedang menimbang. Beberapa menit berlalu, lelaki itu memaksakan senyum di bibir.
Apa permintaanku berlebihan? Namun, bukankah harusnya memang begitu? Orangtuaku jelas tak akan menolak dia. Pun dia sudah pernah bertemu bapak dan ibu. Lain denganku yang sama sekali belum pernah mengenal keluarganya.
Melihat dia yang masih diam saja, aku bersuara. "Permintaanku sulit?"
Tidak mengelak, dia mengiyakan dengan yakin.
Berusaha tak terlihat kecewa, aku mengangguk. "Eh, udah jam berapa ini? Abang berangkat sekarang aja," suruhku sambil memalingkan wajah.
Saat hendak beranjak, Yugi mencekal lengan. Dibuatnya aku duduk lagi di sampingnya. "Aku cuma minta, jangan pernah ragukan perasaanku," katanya dengan suara pelan. "Aku nggak pernah seyakin ini sama perempuan sebelumnya."
Yugi memelukku. "Permintaanmu tadi ... biarin aku mikir dulu, ya. Please, jangan bikin asumsi yang aneh-aneh. Ini sepenuhnya karena aku yang belum siap."
Walau sebenarnya tidak puas dengan jawaban itu, aku tetap mengangguk. Ku balas pelukannya.
"Aku sayang banget sama kamu," bisiknya di telingaku. "Jangan mikir aneh-aneh, yang aku mau cuma kamu."
Satu sisi hatiku gembira mendengar pengakuan yang terasa tulus itu. Namun, satu sisi lagi benar-benar dilema. Jika dia saja ragu membawaku bertemu keluarganya, bukankah secara tak langsung dia membenarkan tebakanku soal bukan diriku yang ibunya inginkan untuk jadi menantu?
***
Pergi hari Selasa siang, sampai Kamis sore bang Yugi belum juga pulang. Ia bilang memang biasa jam kerjanya seperti ini. Meski begitu, lelaki itu tak pernah lupa memberi kabar atau menanyakan kabarku.
Sendirian sejak kemarin, aku mulai terbiasa hidup mandiri di apartemen ini. Bahkan, mengandalkan peta di ponsel dan arahan bang Yugi aku berhasil berbelanja beberapa barang kemarin. Sore ini, belum ada pemberitahuan dari bang Yugi soal dia pulang atau tidak. Namun, aku tetap membuat dua porsi lauk.
Sedang sibuk di dapur, aku mendengar kunci pintu dibuka. Bergegas ke depan, kukira bang Yugi yang pulang. Ternyata bukan.
"Siapa?" tanya wanita itu mendahului aku.
Dari perawakannya, wanita itu kukira seumuran dengan ibu. Apa beliau kerabatnya bang Yugi? Apa jangan-jangan wanita ini ibunya bang Yugi? Aku sedang memperhatikan wajahnya, mencari kecocokan bagian dengan bang Yugi, ketika wanita itu bersuara lagi.
"Pembantu baru, ya?" Ia tersenyum ramah. "Akhirnya Yugi nurut apa kata mamanya. Apartemen ini memang butuh pembantu."
Wanita itu menaruh tas tangannya di meja usai mengeluarkan ponsel dari sana. Ia duduk, lalu memberi perintah padaku.
Katanya, "Tolong buatkan teh, ya, Mbak? Yugi belum pulang?"
Pertanyaan itu menyudahi kediamanku. "Bang Yugi di IGD katanya. Selasa kemarin pergi, belum ngabarin pulangnya kapan," jelasku dengan senyum getir.
Wanita itu mengangguk, mulai sibuk dengan ponsel, aku bergerak ke dapur. Meski sedih dianggap pembantu, tetapi bukankah harusnya aku sadar diri? Mungkin, di mata ibunya bang Yugi tampangku memang seperti asisten rumah tangga.
Sial, sial. Baru juga bertemu, aku sudah dianggap pembantu. Mau berharap dapat restu? Rasanya terlalu tak tahu malu. Nyaliku bahkan sudah tak ada hanya untuk sekadar menjelaskan kalau aku bukan asisten rumah tangga.
Segelas teh aku hidangkan ke ruang tengah. Pamit untuk kembali ke dapur, beralasan ingin memasak, ibunya bang Yugi malah menyusul tak lama kemudian.
"Sudah berapa lama kerja di sini?" Beliau duduk di kursi.
"Baru seminggu, Buk," jawabku sambil berusaha fokus merajang sayuran.
"Yugi belum angkat telepon saya." Dia menghela napas. "Punya anak laki-laki sulit sekali, ya, Mbak."
Aku memberi senyum sopan. Tak tahu harus menimpali apa.
"Mbak udah punya anak belum?" tanyanya balik.
Kuberi wanita itu gelengan pelan.
"Tiga puluh empat tahun usia anak saya. Saya selalu sulit mengerti jalan pikiran dia. Sebenarnya dia baik," lanjut wanita itu mengeluh. "Dia rajin. Tapi, untuk urusan jodoh, susah sekali menurut."
Jantungku bertalu-talu mendengar topik itu dibahas. Menatap beliau, aku pura-pura antusias.
"Saya sudah carikan jodoh untuk dia. Cantik, pintar, sama seperti dia. Dokter juga. Tapi, dia terus menolak. Banyak sekali alasannya. Padahal, kalau dia dengan pilihan saya ini, jelas karirnya akan cepat naik."
Ternyata bukan bualan belaka. Apa yang kak Fani pernah bilang, hari ini terbukti. Aku mendengarnya langsung.
"Zaman sekarang kalau tidak punya koneksi, sulit sekali punya karir bagus, Mbak," lanjut ibunya bang Yugi. "Meski anak saya itu pintar, kompeten, kalau tidak punya orang dalam, ya, susah."
Aku mengangguk saja. Dalam dada rasanya ada sesuatu yang diremas.
"Kayak sekarang, dia harus nunda spesialis karena apa? Gajinya kurang. Kalau saja dia mau sama yang saya jodohkan, calon mertuanya pasti mau membantu." Wanita itu menghela napas lagi.
Beliau lanjut berkeluh kesah, aku berusaha tetap fokus memasak. Tidak mungkin di depannya aku menangis. Ibunya bang Yugi bisa bertanya kenapa aku menangis, lalu aku harus jawab apa?
Berkata kalau aku sakit hati? Sedih karena ternyata ibu dari pria yang kucintai sudah memilih calon menantunya dan itu bukan aku? Sudah macam drama film saja.
Ada suara ponsel. Ibunya bang Yugi memberitahu kalau anaknya sudah menelepon balik. Beliau pergi ke depan, aku cepat-cepat menghapus air mata yang seenak jidat tumpah. Sepertinya, besok aku harus pulang. Apa lagi yang bisa dilakukan di sini?
Masakanku akhirnya rampung. Di saat yang sama ibunya bang Yugi kembali dari ruang depan. Beliau menatapku dengan mata lebar dan ekspresi heran.
"Kamu ...." Ucapannya terjeda beberapa saat. Matanya terus menatapku seolah sedang memeriksa sesuatu.
"Kenapa, Buk?" sahutku.
"Kamu bukan pembantu?"
....
Sehat selalu, ya. Makasih masih ikutin kisahnya Serin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream Journey
RomanceSerin begitu mengidolakan Yugi, hingga nekat ikut dalam kegiatan sosial yang pria itu gagas, meski tanpa pengalaman. Berada jauh dari rumah, melakukan kegiatan pengabdian, bisakah Serin bertahan? Mampukah dia memetik sesuatu dari perjalanan itu?