Bab 8

806 78 2
                                    

Aku tidak ingat mulai pukul berapa, tetapi rasanya ini sudah sangat larut sebab teman-teman sudah banyak yang tidur. Kuperiksa jam di ponsel, ternyata ini sudah pukul sebelas. Meregangkan otot leher dan tangan, aku mulai lagi mengerjakan tugas.

Jadi, tadi siang aku berbelanja. Kubeli kertas karton, kertas origami dan lem. Aku baru tahu kalau harga barang-barang itu selangit di sini. Aku berencana membuat alat peraga permainan pencocokan huruf. Ingin lihat sejauh mana adik-adik di sekolah sudah menghapal huruf-huruf.

Nanti kertas karton kubagi dua. Sisi kiri kuberi gambar buah, sebelah kanan adalah huruf awal buah secara acak. Nanti, adik-adik di kelas akan mengarahkan panah-panah yang ada, sesuai jawaban mereka. Aku berharap permainan ini akan menyenangkan, juga memberi kesan yang nantinya bisa membantu mereka mengingat huruf.

Pukul sebelas lewat aku baru selesai menggunting origami menyerupai buah. Maklum, kemampuanku soal menggambar nol besar. Ini saja aku berharap adik-adik tidak salah menebak. Aku mulai menempelkan gambar-gambar itu, saat mendengar suara.

“Ngerjain apa?”

Wajahku mendongak. Bang Yugi dan beberapa kepala divisi lain ikut masuk ke rumah. Sepertinya mereka habis rapat.

“Ini, apa ....” Aku lupa apa sebutan untuk barang-barang seperti ini, yang dipakai untuk membantu kegiatan belajar mengajar. Kak Dian sudah pernah memberitahu, tapi aku gagal ingat.

“Media pembelajaran.” Kak Dian membantu.

“Nah, itu!” Aku mengetukkan jari ke jidat.

“Serin itu rajin tahu,” komentar kak Dian sambil membaringkan tubuh. Dia pamit tidur.

“Ada yang bisa dibantu?” Bang Yugi tahu-tahu mengambil tempat di sebelahku. Dia mengamati kertas-kertas dan segala barang yang berserak. “Ini nanti mainnya gimana?”

Melirik gugup, aku berdeham. Kenapa rasanya seperti akan presentasi di depan bos besar, ya? Apa aku bisa menjelaskan? Apa aku bisa membuatnya mengerti? Atau dia akan kebingungan karena bicaraku yang nantinya tidak terstruktur?

Halah, coba sajalah.

“Kan kami di kelas mulai belajar huruf lagi, karena masih banyak yang belum bisa membaca. Nah, dua hari kemarin kami udah menghapal abjad. Nah, sekarang, tuh, aku mau buat tes kecil.”

Kubuka kertas karton di depan kami. “Ini, kan, gambar buah.” Kuberi dia senyum sungkan. “Walaupun gambarnya seadanya, mudah-mudahan mereka kenal ini buah apa.”

Bang Yugi tersenyum tipis.

“Nah, nanti adik-adik di kelas cocokin awal huruf dari nama buah ini ke huruf di kanan.” Aku mengangguk. Meyakinkan diri kalau permainan sederhana ini bisa memberi sedikit manfaat.

“Keren, sih.” Bang Yugi mengangguk-angguk. “Berarti gambar buahnya di kiri, ya.” Ia mengambil potongan kertas origami. “Gue bantuin, ya, biar cepet beres.”

Di tempatku, aku menggigit bibir. Gemas sekali, ya Tuhan. Meski mungkin yang tadi itu hanya pujian biasa, tetapi akan kuingat selama-lamanya.

***

Mungkin karena udara di sini lebih dingin daripada rumah, aku jadi cepat lapar. Pukul tiga dini hari aku terbangun karena perut keroncongan. Berisik sekali di dalam lambung. Membuatku tak bisa pura-pura tuli.

Saat duduk, aku menemukan bang Yugi masih terjaga. Dia terlihat menatapi ponsel. Pasti sedang mengurusi sesuatu, tetapi apa? Bukannya sinyal di sini sulit? Katanya perlu ke rumah kepala desa supaya bisa menelepon.

Kulirik dapur. Jauh sekali rasanya jarak dari sini ke sana. Mana ini masih subuh. Aman tidak, ya? Apa aku bangunkan kak Fani dulu, minta temani?

“Masih jam tiga.”

Dream JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang