Bab 9

361 52 2
                                    

"De-e, de. Pe-a-pa. Tambah en, de-pan."

Bertepuk tangan, aku memberi senyum lebar pada Tius. Akhirnya, setelah berjuang, dia bisa juga mengeja. Ini semua berkat kemauan kerasnya.

Apa yang bang Yugi katakan tentang desa ini benar. Mereka bukannya tidak bisa setara dengan masyarakat terpelajar di kota sana. Entah dari segi pendidikan, kesehatan atau ekonomi. Mereka hanya kurang fasilitas.

Soal kesehatan dan hidup bersih misalnya. Sudah jauh dari fasilitas kesehatan, desa ini juga terkendala sarana dan prasana yang dibutuhkan. Jumlah dokter kurang, sama seperti jumlah tenaga pendidik. Sumber air bersih saja kurang, bagaimana mau hidup layak?

Penyuluhan soal membangun MCK sederhana atau menciptakan lingkungan hidup bersih misalnya. Agar warga tak buang hajat sembarangan di sungai dan merusak sumber air. Mungkin, jika saja banyak komunitas seperti DreamTeam yang datang ke sini, mungkin secara bertahap warga desa ini bisa lebih baik.

Kembali ke kasusnya Tius. Di awal kami memang sama-sama kesulitan. Aku sempat putus asa karena merasa kurang teknik. Aku tidak seperti teman-teman lain di divisi pendidikan yang beberapa punya latar belakang pengajar, jadi mereka kreatif menggunakan metode pembelajaran yang cocok dengan adik-adik di sini. Atau seperti mereka yang supel dan bisa akrab dengan adik-adik dengan cepat.  Namun, berkat bantuan mereka, khususnya kak Dian, aku akhirnya bisa menemukan formula yang tepat untuk bisa membantu Tius.

Kilat menyambar saat Tius mulai berkemas. Sesi belajar kami sudah usai hari ini. Dia sendirian karena memang hanya ia yang tersisa belum lancar mengeja. Aku sengaja memberi les setelah pulang sekolah padanya agar waktu belajarnya lebih banyak.

Mengamati cuaca, sku sepertinya akan mengantar Tius sampai rumah lagi.

Kami berjalan agak cepat. Menyusuri jalan yang kiri dan kanannya masih tanah kosong yang ditumbuhi banyak pohon. Sesekali aku mengajak Tius bicara, supaya tidak terlalu takut. Biar bagaimana, aku belum terbiasa dengan keadaan jalanan di sini yang sepi dari kendaraan.

"Besok kamu ikut lomba mewarnai?" tanyaku pada Tius.

"Saya tidak punya cat warna, Kak."

"Nanti disediakan, kok. Ikut, ya. Ada hadiahnya, loh." Aku membujuk.

Anak pendiam seperti dia harusnya diberi semangat untuk ikut dalam kegiatan yang banyak interaksinya. Biar Tius tidak jadi sama sepertiku yang terlalu sering mengasingkan diri dan jadi perempuan menyedihkan yang tak punya teman.

Tius mengangguk. Kulihat lebam di tangan kanannya. Dekat siku. Sejak pagi sebenarnya aku sudah penasaran. Namun, baru ini berani bertanya. Aku takut bertanya lebih awal karena tak ingin Tius merasa tak nyaman dan membuat jarak.

"Tanganmu ini sakit, enggak?" Kusentuh lengannya pelan.

Dia menarik lengan itu. Memeganginya, menutupnya dengan telapak tangan. Kepalanya menggeleng.

"Kalau boleh tahu, itu kena apa?"

"Jatuh," jawabnya cepat.

Kami sampai di rumahnya. Baru aku akan pamit, dari dalam rumah Tius terdengar suara orang berteriak. Aku buru-buru menjeda langkah.

"Tius!" Seorang pria keluar dengan langkah besar-besar dan wajah penuh amarah. Matanya melotot padaku. "Masuk!" perintahnya sambil menarik tali tas Tius.

Tius menoleh sebelum melewati pintu. Dia menggerakkan tangan, memberi tanda seperti sedang mengusir.

"Perlu apa lagi?!" bentak pria yang tadi marah-marah padaku.

Aku sempat berjengit karena terkejut. Memberanikan diri, kutanyai beliau. "Bapak ayahnya Tius?"

"Kenapa? Ada masalah? Kami tidak perlu guru dari kota atau dokter! Bersikap sok baik!" Setelahnya dia balik badan dan masuk rumah.

Dream JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang