"Bisa banget ngangep gue kayak gak ada di dunia."
"Segitu gampangnya ngehapus semua soal gue?"
"Dia seneng kayaknya, ya, kalau gue beneran gak ada."
Berlari menyusuri koridor salah satu rumah sakit, air mataku tumpah tak bisa dibendung. Semua perkataan bang Yugi tadi malam saat kami berkumpul di acara perpisahan DreamTeam terus berulang di kepala dan membuat otakku sakit.
Dia tidak mengatakan itu langsung padaku. Yugi bicara pada bang Renhard, sebab sepanjang hari aku mengabaikan dia. Bahkan, aku menolak menatap wajahnya.
Itu kulakukan semata-mata demi menguatkan diri. Tadi malam adalah hari terakhir kami bertemu. Akan jadi yang terakhir sebelum dia pulang ke Jakarta pagi nanti. Karena itu aku mengabaikannya.
Bukan itu tidak sulit. Namun, mau bilang apa? Semua harus dijalani. Itu upaya untuk menjaga hatiku agar tak semakin sulit melupakannya nanti. Bukan benar-benar menganggap dia tidak ada atau mendoakannya menghilang.
Namun, semesta agaknya sedang menghukumku. Pukul dua dini hari, bang Renhard menghubungi. Pria itu mengabari jika Yugi ada di rumah sakit, dalam keadaan parah karena mengalami kecelakaan.
Aku yang kalang kabut segera membangunkan Bapak dan meminta tolong diantar ke sini. Saat akhirnya aku melihat bang Renhard di rumah sakit itu, jantungku serasa lepas.
Ternyata berita itu benar. Aku bahkan bisa menemukan noda darah di pakaian bang Renhard.
"Kenapa bisa kecelakaan?" Tangisku pecah di depan Bang Renhard.
Pria itu menggeleng dengan kepala perlahan tertunduk. Di matanya aku menemukan ketakutan.
"Keadaannya gimana sekarang?" Seingatku, di jalan tadi bang Renhard mengabari kalau Yugi sudah diantar ke ruang operasi.
Renhard menggeleng lesu lagi. "Kita tunggu aja, Serin." Ia memejam seolah menahan emosi yang besar. "Kepalanya luka, semoga aja cideranya nggak parah."
Satu tanganku membekap mulut agar tangis tidak pecah. Aku menatap ruangan di depan kami. Segala macam doa kuucap dalam hati. Sekali ini saja, kuharap doaku terkabul.
Tak lama Bapak datang menyusul. Ia langsung mengambil tempat di sebelahku dan memberi rangkulan. Aku meringkuk dalam pelukannya.
"Tenang, doakan dia. Semoga saja Tuhan kasih yang terbaik untuk dia," katanya memberi kekuatan.
Namun, hatiku malah makin terasa berat. Aku merasa bersalah. Aku takut jika ini semua akibat ulahku. Aku takut jikalau sampai perbuatanku yang mengabaikannya seharian kemarin diamini menjadi doa dan dia akan benar-benar menghilang.
Lima belas menit berlalu, ketakutanku makin pekat. Terlebih setelah kak Fani dan beberapa anak DreamTeam datang.
Kak Fani berkata, "Kata orang, dipanggil Tuhan adalah sesuatu yang bagus." Dia bicara sambil menatapku yang masih berlindung di pelukan Bapak. "Anggaplah kalau dia mati pagi ini, itu yang terbaik. Bersama Tuhan, dia jelas akan lebih bahagia daripada di dunia."
Aku tak bisa menelan ludah karena kini kak Fani menatapku penuh penghakiman. Tanganku yang memegangi tangan Bapak gemetar.
"Lo bisa rela dia mati dan pergi ke tempat paling membahagiakan? Lo rela dia dipanggil Tuhan secepat ini?"
Perempuan itu memberi senyum sinis. Matanya memerah. "Pasti nggak, 'kan? Gue juga. Padahal, kita tahu kalau surga bakalan jadi tempat paling banyak kebahagiaan. Tapi, karena dia nggak akan bisa bareng kita lagi, kita tetap nggak rela dan minta supaya dia nggak dijemput sekarang."

KAMU SEDANG MEMBACA
Dream Journey
RomanceSerin begitu mengidolakan Yugi, hingga nekat ikut dalam kegiatan sosial yang pria itu gagas, meski tanpa pengalaman. Berada jauh dari rumah, melakukan kegiatan pengabdian, bisakah Serin bertahan? Mampukah dia memetik sesuatu dari perjalanan itu?