Tahu akan naik kapal laut selama empat hari, dari rumah aku sudah punya banyak rencana. Misal, melihat matahari ditelan laut. Melihat matahari muncul dari dalam laut. Atau keliling kapal untuk menambah pengetahuan soal transportasi air itu.
Namun, rencana tinggal rencana. Kukira setelah minum obat dan tidur, paginya aku bisa bangun dengan segar. Salah. Sudah bangun siang, pukul sembilan, perutku masih juga tak nyaman.
Bagaimana ini? Apa ucapan Ibu benar? Aku akan mati dalam perjalanan ini? Pergi dengan semangat mengabdi, pulang tinggal jasad?
Ah, yang benar saja. Tragis sekali nasibku ini? Aku bahkan belum menikah.
Pintu kamar terbuka, aku melihat Kak Stefani datang.
"Gimana? Masih sakit?" tanya perempuan itu. Terdengar sungguhan peduli dia.
Aku menurunkan kaki dari ranjang, duduk. "Agak kembung," keluhku sambil mengusap perut. "Padahal aku enggak makan sembarangan kemarin."
"Ada masalah mag?"
Kepalaku mengangguk lesu.
Suara pintu kembali terbuka terdengar lagi. Mataku terbelalak saat mendapati kalau yang masuk adalah Yugi. Mampus. Aku akan disuruh pulang, dilempar ke laut lepas?
Spongebob, ayo telepati dan tolong bantu aku.
"Sakit, ya?" tanyanya sambil berjalan menghampiri.
Aku menunduk, memejam sebentar. Ya, Tuhan. Merdu sekali suara ciptaanmu yang satu ini. Rendah, renyah, maskulin sekali. Untuk sebentar kembung di perut tak terasa.
"Ada mag, Yug. Coba lo periksa aja, deh," saran kak Stefani.
Mendongak, aku mengerjap cemas. Periksa? Yugi? Ya, Tuhan. Aku belum mandi!
Entah memang suka membawa stetoskop ke mana-mana atau dia memang sudah berencana memeriksa orang, Yugi mengeluarkan benda itu dari saku celana.
"Coba baring," suruhnya.
Aku membeku. Kutatap dia dan kak Stefani bergantian. Apa salah satu mereka bisa menolongku? Benar, ya, dunia ini isinya orang jahat semua?
Aku belum mandi. Kalau aku bau, Yugi jadi jijik, benci dan menyuruhku pulang, bagaimana?
"Baring, Ser," kata Stefani dengan tawa kecil. "Yugi ini dokter, tenang aja."
Terpaksa, dengan gerakan gugup, aku berbaring. Yugi mengambil tempat di samping ranjang. Ia membungkuk, lalu melakukan prosedur pemeriksaan sebagaimana yang sering aku terima saat berobat ke klinik.
"Makan apa kemarin?" tanyanya saat aku sudah duduk kembali.
Kepalaku menggeleng. "Makan yang aman, kok. Makanya saya juga heran kenapa kembung."
"Nanti minta obat sama Lia. Habis sarapan langsung diminum." Dia menggulung stetoskop, aku yang tak sengaja mendongak salah fokus pada lengannya.
Putih. Panjang. Tampak keras. Wah, penyegaran mata.
Bukan cuma dilihat di foto. Orangnya secara nyata memang sangat menawan, ya? Semua-semua yang ada di dirinya ini kenapa menarik sekali, padahal cuma lengan.
Aku cuma melihat, tetapi jadi kepikiran bagaimana rasanya kalau menyentuh lengan itu. Menggandeng? Gigit boleh, tidak, ya?
***
"Lo asli Medan?" Kak Fani menyuarakan tanya itu saat aku masih menatapi hamparan laut di hadapan.
Sore ini, dengan alasan kalau di kamar saja bisa membuat kembungku makin parah, Kak Fani mengajak duduk-duduk santai di dek paling atas. Di sini agak ramai, tetapi pemandangannya bagus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream Journey
RomanceSerin begitu mengidolakan Yugi, hingga nekat ikut dalam kegiatan sosial yang pria itu gagas, meski tanpa pengalaman. Berada jauh dari rumah, melakukan kegiatan pengabdian, bisakah Serin bertahan? Mampukah dia memetik sesuatu dari perjalanan itu?