Aku melakukan ini dan itu.
Benar kata orang. Tidak berguna sebanyak apa kata-kata motivasi diberikan pada seseorang. Jika dari dalam diri orang tersebut tidak ada kemauan untuk berubah, maka mustahil terjadi.
Sejak dulu aku kerap mendapat ceramah dari bapak atau ibuk. Sejak aku menjadi sangat malas keluar rumah, menjadi sangat benci pada manusia selain mereka yang satu kartu keluarga denganku. Kata beliau-beliau itu, tidak semua manusia sama. Satu yang menyakiti, mana boleh menyimpan benci pada semua orang.
Namun, bertahun-tahun aku mengabaikan itu. Aku lebih percaya pada pengalaman bertemu manusia buruk sebagai patokan bahwa memang sudah seharusnya menghindar, mengasingkan diri.
Lalu, aku bertemu Yugi. Ikut kegiatan DreamTeam. Yang walau hanya satu kali, sudah bisa memberi dampak hebat dalam hidupku.
Aku sudah berani ikut lagan. Sudah lebih serius menggeluti hobi menulis. Dan mulai memikirkan harus melakukan apa untuk masa depan.
Usaha akan sebanding dengan hasil. Mungkin, karena beberapa minggu ini aku sungguh-sungguh melakukan pekerjaan, jadi jerih payahku lumayan kelihatan. Kalau begini terus, wacana ingin menabung bisa terealisasi.
Kalau ditilik, memang tidak banyak yang berubah dari hidupku. Bukan aku jadi orang kaya atau jadi guru ilmu filsafat. Namun, cara pikir baru membuat semangat tumbuh sedikit lebih banyak.
Pagi ini misalnya. Pukul sembilan pagi aku sudah selesai mencuci. Hebat, 'kan? Sudah sarapan juga. Tinggal mencuci piring yang belum.
Saat sedang menggantung pakaian di jemuran depan rumah, aku melihat buk Prita datang. Tidak sendiri, seorang pria dengan hoodie abu-abu memboncengnya. Lelaki itu turun, lalu mataku terbeliak.
Lelaki itu bang Renhard. Dia melempar senyum, aku mengembalikan kain ke ember.
"Lagi sibuk, Serin?" sapa buk Prita.
Aku mengangguk dengan wajah heran.
"Ini keponakan yang ibuk bilang," katanya sambil menunjuk bang Renhard.
Oalah. Sempit sekali ternyata dunia ini. Jadi, ini keponakan buk Prita yang kemarin dibicarakan? Bang Renhard?
"Kemarin ibuk suruh dia SMS kau duluan, tapi kata dia nggak usah," jelas buk Prita. "Kebetulan dia ada kerjaan dua hari di sini. Paslah kalian jumpaan."
Aku mengangguk saja. "Aku udah kenal Bang Renhard, Buk. Waktu kegiatan kemarin jumpa."
"Iyakah? Wah, bagus kalau gitu." Buk Prita memukul punggung bang Renhard.
Aku mendengar suara tepukannya. Sepertinya memang sekeras itu, sampai bang Renhard meringis beberapa kali.
"Dia ini mau kerja jam sebelas, Ser. Jadi, biar dia di sini dulu, kalian ngobrolah dulu, biar enak." Buk Prita pamit.
Aku persilakan bang Renhard duduk di kursi luar. Kutanya dia mau minum apa, pria itu mengaku belum sarapan.
"Waduh!" keluhku. "Tadi aku sarapan telur. Ibuk enggak masak."
"Telur juga nggak pa-pa." Dia mengangguk, dengan kedua tangan di bawah dagu. Senyumnya terlihat jahil.
Aku ikut tersenyum. "Apa senyum-senyum begitu?" tanyaku langsung.
"Itu bibik gue, ngebet banget gue nikah sama lo. Gimana ini? Beneran jodoh kali kita, ya?" Kini dua alisnya naik turun.
"Ada aja," balasku sambil berbalik untuk membuat telur dadar untuknya.
Entah lelaki itu hanya pura-pura atau memang sangat lapar, beberapa saat kemudian piringnya kosong. Nasi dan telur dadar yang kusiapkan ia lahap hingga tak bersisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream Journey
RomanceSerin begitu mengidolakan Yugi, hingga nekat ikut dalam kegiatan sosial yang pria itu gagas, meski tanpa pengalaman. Berada jauh dari rumah, melakukan kegiatan pengabdian, bisakah Serin bertahan? Mampukah dia memetik sesuatu dari perjalanan itu?