Bab 4

916 82 2
                                    

Pertama kali dalam hidup, aku naik kapal laut. Setelah menunggu selama dua jam di pelabuhan, akhirnya kapal yang akan kami tumpangi datang. Satu per satu dipersilakan masuk, tak lupa memastikan semua bawaan tidak tertinggal. Kapal bergerak meninggalkan pelabuhan pukul tiga sore.

Tadi pagi, dari rumah aku berangkat ke bandara. Menumpang pesawat aku sampai di kota yang menjadi tempat berkumpul relawan yang ikut lewat jalur self funded. Dari bandara kami bersama-sama ke pelabuhan ini dan berkumpul dengan relawan lain yang berasal dari seluruh provinsi. Menunggu kapal datang, kemudian berangkat.

Keseluruhan tim pengabdian kali ini berjumlah sekitar sembilan puluh orang. Sungguh jumlah yang besar bagiku, sebab kupikir hanya akan ada beberapa belas orang.

Ada perkenalan singkat tadi, dan kini setelah kami masuk kapal dan tiket selesai diperiksa oleh petugas kapal, saatnya pembagian kamar. Pihak penyelenggara menyewa kamar yang masing-masing punya empat tempat tidur. Kenapa tidak pilih kelas ekonomi, sebab katanya kami butuh tidur yang layak agar saat tiba di lokasi kegiatan, semua acara bisa dilakukan secara optimal.

Satu kamar dihuni empat orang, sebenarnya aku agak risih. Tidak terbiasa berbagi kamar, terlebih dengan orang yang baru kukenal beberapa jam lalu. Tidur sekamar dengan Davina saja aku membuat jarak.

Namun, aku menekankan pada diri kalau ini adalah pengalaman sekali seumur hidup. Kalau aku bersikeras pada keinginan tak mau berbagi kamar, memangnya aku punya uang lagi untuk menyewa kamar sendiri? Jadi, sudah. Tenangkan diri, mari coba beradaptasi.

Ada sembilan puluh orang di tim ini. Mustahil menghapal semua nama mereka dalam waktu singkat. Namun, yang sekamar denganku ini beberapa sudah kuingat namanya.

Ada Lia. Dia tenaga kesehatan yang sejak bertemu tadi kulihat banyak mengobrol dengan Yugi. Kemudian ada Stefani. Dia ini pengusaha yang katanya memang senang ikut kegiatan volunter. Satu lagi aku lupa, tetapi serupa dengan Lia dan Stefani, wajahnya cantik sekali.

Inilah salah satu hal negatif pada diri. Saat bertemu orang baru, apalagi perempuan, aku selalu merasa kurang percaya diri. Di mataku, semua perempuan di kamar ini cantik, kecuali aku. Membuat ada rasa kecil hati, tidak nyaman, dan takut tidak terima.

Mana pekerjaan mereka mentereng semua. Agaknya, dari semua anggota relawan yang ikut, cuma aku yang pengangguran. Apa nantinya mereka akan meremehkanku karena ini, ya? Juga, dengan aku yang begini, apa iya bisa memberikan sesuatu di desa yang akan kami tuju? Memang potensiku apa?

"Serin, kan?" Stefani menyebut namaku dari tempat tidurnya.

Aku mengangguk.

"Baru pertama jadi volunter, ya?" Senyumnya tampak ramah.

Kuberi dia senyum tipis sebagai bentuk ramah tamah. Kepalaku mengangguk.

"Share, dong, kenapa kepikiran pengen ikut?" Entah aku salah lihat atau besar kepala, aku bisa menemukan rasa ingin tahu di kedua matanya.

Apa dia serius ingin tahu alasanku? Atau dia memang pandai memainkan ekspresi dan sebenarnya hanya ingin berbasa-basi?

Apa kutanya saja langsung? Eh, itu tidak sopan. Ya sudahlah, jawab saja.

"Sebenarnya, karena satu dan banyak hal, aku yakin kalau dunia ini isinya orang jahat semua."

Stefani berhenti melipati pakaian. Dua alisnya terangkat untuk beberapa saat. Sorot matanya menunjukkan keterkejutan untuk sebentar.

"Banyak orang yang kalau lihat orang susah, bukannya kasihan, mereka malah mencari cara untuk menghina, mengejek dan menjatuhkan.” Aku merinding mendengar nada suaraku yang sinis. “Singkatnya, aku merasa kalau aku ini benci banget sama semua manusia,” sambungku.

Dream JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang