"Udah, lo jangan pikirin. Si Yugi lagi PMS kali."
Pada kak Fani aku memperdengarkan helaan napas berat. Bagaimana bisa aku tidak kepikiran? Beberapa saat lalu perempuan itu bercerita kalau bang Yugi sedang dalam suasana hati buruk. Dia ketus pada semua orang. Lebih banyak diam. Kutebak, itu karena ulahku.
Sepertinya, tugasku membuat komunitas ini ditimpa kesulitan belum selesai. Macam kata Lia. Menyusahkan orang. Bang Yugi pasti kesal padaku, lalu melampiaskannya pada semua orang.
"Tapi, Ser ada yang aneh memang." Kak Fani menatapku dengan sorot mata penuh rasa ingin tahu.
"Enggak aneh," balasku. "Dia pasti marah karena aku udah bikin masalah."
Kak Fani menggeleng. "Waktu dia bawa lo pulang. Yang dia bersikeras ngobatin luka lo. Itu aneh, sih. Nggak Yugi banget yang kayak gitu."
Aku mendengarkan.
"Bukan cuma gue, Winda juga ngerasa. Jarang banget dia debat sama Winda. Tapi, kemarin itu dia keras kepala banget. Bukan gue meragukan keahlian dia sebagai dokter, tapi aneh aja lihat dia sampai ngotot begitu."
"Kakak mau bilang bang Yugi sok hebat?"
Fani menggeleng. "Gue dan Winda ngerasa ngototnya Yugi kemarin bukan karena sok hebat, tapi sebaliknya. Dia kayak nggak yakin sama dirinya sendiri, sampai harus pakai urat ngomong sama Winda. Lo sendiri tahu biasanya Yugi itu orangnya kalem. Ngotot itu bukan dia banget."
Kini kak Fani menatapku serius. "Kenapa, ya, Yugi seaneh itu?" Dia bertanya, tetapi aku menemukan nada menyindir di sana.
Tidak paham, aku mengangkat bahu. Tak lama dari arah dapur aku melihat orang yang sejak tadi kami bicarakan datang. Dia membawa sepiring makanan di tangan.
"Fani, lo belum gerak?" ingatkannya pada kak Fani.
Kak Fani beranjak dari matras. "Lo sendiri kenapa belum pergi?" balasnya tak mau kalah.
"Gue harus ganti perbannya Serin dulu." Dia duduk. Diberikannya piring berisi nasi dan telur padaku.
"Lo dokter pribadi Serin?" tanya kak Fani dengan nada mengejek. "Perasaan yang anak nakes bukan cuma lo doang di sini. Kenapa dari kemarin harus lo sendiri yang megang nih anak? Ganti perban doang bisa Winda kali. Mencuriga-"
"Berisik," potong bang Yugi santai.
Kak Fani mengendik acuh, kemudian pergi. Aku mulai gugup. Kalau benar lelaki ini sedang marah, bukankah aku dalam bahaya? Apa akan disuruh jalan jongkok lagi?
"Itu nasi gue ambilin untuk dimakan," tegurnya seraya mulai membuka perban di tangan kananku.
Aku mengangguk. "Nanti aja." Aku malu makan di depannya. Kalau dia tidak suka dengan cara makanku? Eh, kenapa aku harus peduli?
"Mau asam lambung lo naik? Mentang-mentang pisaunya kemarin nggak berkarat, ya?" Jemarinya menekan lenganku.
Tutup mulut, kubawa piring ke atas pangkuan. Aku mulai makan dengan tangan kiri, sesekali melirik dia. Penasaran sekali, aku bertanya padanya.
"Abang marah, ya?"
Mata besarnya melirik sengit. "Ngapain? Lo kan hebat, penuh perhitungan mau ngejebak bapaknya Tius." Sepanjang bicara alisnya bergerak naik sangat sinis.
Dia menyindir. Tersenyum kuda, aku menelan nasi di mulut. "Itu tiba-tiba. Aku sendiri enggak sangka."
"Dan lo pergi ke sana sendirian? Gue di rumah pas Winda kasih kabar itu. Apa karena gue bukan Renhard? Lo cuma percaya sama Renhard?"
![](https://img.wattpad.com/cover/366864161-288-k250371.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream Journey
RomanceSerin begitu mengidolakan Yugi, hingga nekat ikut dalam kegiatan sosial yang pria itu gagas, meski tanpa pengalaman. Berada jauh dari rumah, melakukan kegiatan pengabdian, bisakah Serin bertahan? Mampukah dia memetik sesuatu dari perjalanan itu?