Bab 12

361 56 2
                                    

Rasaku, Tius sengaja menyembunyikan sikap kejam ayahnya. Sejak kejadian itu, dia seolah menghindari aku di kelas. Saat sesi belajar sepulang sekolah dia juga enggan menjawab pertanyaan kalau bukan soal tugas sekolah.

Sudah kulancarkan strategi baru. Jika istirahat dan Tius berdiam di kelas, aku akan mengajaknya menggambar. Aku selalu meyakinkan kalau dia bisa mengatakan apa saja keluhanya padaku, aku akan membantu sebisa mungkin. Setelah kurayu selama tiga hari, akhirnya anak itu mau menceritakan apa yang sering ayahnya lakukan.

Sejak masih bayi, Tius hanya tinggal dengan ayahnya. Ibunya meninggal saat melahirkan. Dan sejak Tius bisa mengerti ucapan, yang ia dengar adalah kemarahan. Ayahnya menyalahkan Tius.

"Ayah bilang, Ibu mati gara-gara saya. Jadi saya salah."

Begitu pengakuan Tius di sekolah tadi siang. Anak itu menyuarakannya dengan ekspresi sedih. Aku bahkan hampir tak bisa menahan air mata mendengarnya. Sinetron atau cerita novel yang bertema sama yang sudah pernah kubaca menyeruak dalam ingatan, menambah sedih.  Dia salah apa? Ibunya meninggal bukan karena dia.

Belum lagi, ayahnya menuntut Tius melakukan semua pekerjaan rumah. Memasak, mencuci, semua harus dilakukan anak sekecil itu. Bahkan, Tius kadang harus mencari sayur di ladang untuk bisa dijual dan membeli beras saat ayahnya tak pulang berhari-hari.

Jika sedang mengamuk, bila tak ada makanan atau pakaiannya belum dicuci, ayahnya Tius akan marah, bahkan tak segan memukul Tius. Persis seperti yang kemarin aku lihat. Tega sekali.

Aku menghela napas. Entah sudah yang ke berapa kali. Sendirian di danau belakang rumah, aku memikirkan harus melakukan apa. Tidak mungkin aku diam saja saat tahu ada anak yang sering mendapat tindakan kejam dari ayahnya. Namun, aku belum punya rencana. Bagaimana kalau mengadukan ini pada Kak Fani atau yang lainnya malah akan membuat Tius dalam bahaya, seperti ancaman ayahnya kemarin? Belum lagi, Tius meminta secara langsung agar aku tidak ikut campur.

Aku sungguh bingung sekarang. Bingung dan takut. Berjam-jam sudah duduk di sini, aku tetap tidak menemukan jalan keluar.

"Bentar lagi sore."

Aku berjengit. Menengok ke belakang, aku temukan bang Yugi di sana. Kapan dia datang? Mengagetkan saja.

"Lo udah di sini berjam-jam. Nungguin duyung apa gimana?" Dia duduk di sebelahku. Pura-pura menengok ke dalam air, lalu tersenyum tipis.

"Homesick, ya?" tebaknya.

Aku menggeleng. "Seumur hidup aku di rumah doang. Baru pergi beberapa hari, belum rindulah."

"Di rumah kepala desa lumayan ada sinyal. Kalau mau telepon, ke sana aja." Dia masih keras kepala.

Tak kubalas. Menatap ke depan, aku tergerak untuk menanyai dia. "Abang pernah takut?"

Melirik sebentar, dia mengangguk.

"Waktu takut, Abang ngapain?"

Yugi menengok kiri dan kanan. Wajahnya tegang. "Larilah. Renhard juga bilang di sini ada itu-nya?"

Senyumku tergelincir. "Bukan. Udah, lupain."

Kami sempat sama-sama tak bersuara untuk beberapa saat. Lalu, bang Yugi berkata, "Takut itu obatnya cuma satu." Dia menatapku, kemudian melanjutkan, "Lawan."

Berapa kali harus kukatan? Semua yang ada di diri lelaki ini sangat mengesankan. Matanya saat menatapku tadi tahu-tahu memberi keberanian. Seolah aku dikuatkan, padahal dia tak tahu apa yang kini menjadi masalahku.

Kami sepakat pulang saat suara nyamuk mulai makin kencang dan matahari hampir tenggelam. Di perjalanan, benakku kembali diisi tanya.

"Dulu, kejadian apa yang bikin Abang kepikiran untuk ngadain kegiatan kayak gini, sekalian bikin komunitasnya?"

Dream JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang