Bab 41

2.2K 133 9
                                    

"Aku nggak ada suruh Anita nyusul."

"Dia minta alamatku ke Mama."

"Kamu percaya, 'kan?"

Wajah dan pandanganku masih lurus ke depan. Ucapan-ucapan berisi pembelaan diri barusan tidak kutanggapi. Aku masih kesal.

Yugi sudah keterlaluan. Ke mana Yugi yang selalu profesional? Demi apa pun, lelaki ini sudah dewasa, sudah banyak pengalaman. Namun, lihatlah apa yang dia lakukan padaku, di depan semua anggota DreamTeam.

Hilang muka aku. Tebal sekali wajah ini. Apa kata mereka setelah ini? Aku pasti dikatai perempuan perayu yang tidak tahu malu. Bisa-bisanya menggoda ketua sekaligus founder, pun bermesraan di tempat umum?

Kepalang kesal, aku meminta setengah menyeret bang Yugi ke pick up. Kami perlu membicarakan ini. Sisa satu hari di lokasi pengabdian ini jangan sampai ikut rusak.

Sejak tadi lelaki di kursi supir itu terus memberikan penjelasan. Namun, tak satu pun soal perbuatannya yang menciumku di depan semua orang. Dia malah menerangkan bahwa datangnya Anita tidak ada campur tangannya.

Mana aku percaya, sekali pun sudah mendengar hal serupa dari kak Fani. Enak saja dia membuat kesan seolah Anita saja yang nekat mengejarnya sampai sini. Aku tebak, dia itu sebenarnya senang juga. Buktinya, kenapa kemarin diam saja dipegang-pegang?

"Sayang."

Panggilan itu langsung menyita atensi. Aku menoleh dan berdecak penuh peringatan. Mataku melotot.

"Udah kubilang, jangan panggil aku kayak gitu lagi," peringatku serius. "Kita ini udah enggak punya hubungan apa-apa lagi."

Jidatnya yang lebar itu berlipat. "Kamu serius mau begini? Gimana bisa kamu suruh aku lupain gitu aja semuanya?" Ia mengusap wajah kasar, sebelum menatapku dengan mata tajam. "Demi Tuhan, kita udah tidur bareng, Sayang!"

Mataku mengedar ke sekitar. Jangan sampai ucapan tadi didengar telinga lain selain kami.

"Terus, kalau udah begituan, kenapa?" Bisa kurasakan pipiku panas habis berkata begitu. Terdengar tidak tahu malu sekali, sampai-sampai ingin muntah. "Kita ngelakuin itu atas dasar mau sama mau, pun enggak ada perjanjian apa-apa. Enggak usah perasaan suci kau!"

Kerjap mata bang Yugi agak menyepat sesaat. Kutebak dia terkejut karena kalimat tidak tahu malu-ku tadi. Namun, biar saja.

"Kuulangi," ujarku penuh penekanan. "Kita udah selesai. Aku memang menjanjikan akan memberi jawaban dan itu udah kulakukan. Jawabannya, aku enggak mau meneruskan hubungan ini. Jadi, udah."

Kuabaikan perasan bersalah di hati usia melihat kecewa di kedua mata bang Yugi. Ini yang terbaik, batinku. Cinta bukan satu-satunya hal yang harus dikejar di dunia ini. Masa depan yang menjanjikan juga salah satunya. Dan bang Yugi bisa mendapat kedua hal tadi bila bersama Anita.

"Berhenti menempatkan aku di situasi sulit," lanjutku. "Setidaknya, sampai besok. Kau enggak malu jadi tontonan anak-anak DreamTeam kayak tadi? Bersikaplah profesional. Jangan persulit aku."

Usai menyuarakan itu, aku turun dari mobil. Langkahku yang menjauh dari sana berat, tetapi kuyakinkan hati. Bukankah hal terbesar dari mencintai adalah berkorban? Maka, yang kulakukan ini sudah benar.

Dengan berpisah, yang sedij hanya aku. Namun, Tante Melani, Anita dan bahkan Yugi sendiri nantinya akan bahagia. Jadi, bukankah pilihan ini yang paling baik untuk kami semua?

***

Semua sembako sudah kami bagikan pada warga. Begitu juga dengan buku dan alat tulis untuk anak-anak. Lelah, tetapi rasanya lega setelah kegiatan hari ini berakhir.

Besok adalah hari terakhir kami di desa ini. Akan ada acara perpisahan kecil-kecilan dengan warga, karenanya hari ini tidak bisa langsung pulang. Ada beberapa hal yang masih harus diatur dan disiapkan.

Salah satunya acara makan bersama.

Warga di sini baik sekali. Mereka akan  mengumpulkan ikan hasil tangkapan besok untuk kami nikmati bersama. Nah, DreamTeam berencana menambahi beberapa bahan makanan lagi seperti daging, sayuran dan lainnya. Kami juga perlu menata tempat membakar ikan dan daging, karenanya masih terlihat repot meski sekarang sudah pukul sembilan malam.

"Lo pulang naik apa?"

Aku berjengit karena tiba-tiba mendengar suara Bang Renhard. Pria yang berjongkok di sebelahku itu tertawa mengejek.

"Makanya jangan ngelamun." Telunjuknya mengarah ke wajahku penuh tuduhan. "Bayangin jorok, ya? Yang tadi siang?"

Kuabaikan dia. Kayu-kayu bakar di hadapan aku susun dengan benar.

Mungkin, Bang Renhard sadar aku sedang tak ingin membicarakan apa pun soal bang Yugi, karenanya dia tak terdengar buka suara selama beberapa menit. Ketika kembali bicara, dia masih membahas temannya itu.

"Lo beneran mau putus sama Yugi?"

Bibirku rapat. Malas aku meladeni dia.

"Apa nggak sayang, Ser? Kalian berdua itu saling cinta, loh."

Terserah dia mau bilang apa. Aku udah sudah kebal. Keputusanku akan tetap sama, walau apa pun yang terjadi.

Terdengar suara orang berlari dari arah belakang. Tak lama, punggungku dipukul kencang sampai terdengar bunyi seperti nangka jatuh.

"Kak Fani!" pekikku protes.

Perempuan itu hanya tertawa. Dia ikut berjongkok, kini aku diapit dua orang yang suka menasihati.

"Lo beneran putus sama Yugi?" Pertanyaan yang sama kudengar dari perempuan itu.

Responku serupa. Abaikan.

Kak Fani kemudian mengeluarkan ponselnya. "Gue ada berita besar sebenarnya. Kemarin malam, temannya Yugi yang kerja di rumah sakit bareng, ngasih tahu."

Ia menunjukkan layar ponselnya padaku. Ogah-ogahan aku membaca pesan di foto yang ada. Setelah paham, kukembalikan ponsel itu.

"Gila, sih, kalau dia sampai beneran resign dan pindah ke Medan," komentar Kak Fani seraya melirik-lirik ke sini. "Kalau udah sampai mikir ke sana, harusnya dia serius, sih, Ser."

Aku mengangguk saja. "Terserah dia mau resign, pindah ke Medan atau ke mana. Bukan urusanku," pungkasku sembari menegakkan kaki. Kutepuk-tepuk telapak tangan untuk membersihkan bekas tanah di sana. "Aku udah selesai," ucapku penuh penekanan.

Semoga mereka mengerti dan berhenti berusaha menasihatiku.

***

Air mataku merebak. Pipi sudah basah kuyup oleh tangis sama seperti bantal. Padahal, aku hanya mendengarkan lagu, tetapi kenapa rasanya sedih sekali sampai bisa menangis?

Aku tidak bisa tidur tadi. Sudah kucoba bermain ponsel selama satu jam. Namun, bukannya mengantuk, mataku malah makin terang. Alhasil, kucoba tidur sambil mendengarkan lagu. Akhirnya, aku menangis.

Padahal, lagu ini tentang orang jatuh cinta dan berharap dicintai balik. Entah di mana letak sedihnya, sampai air mataku tumpah sangat banyak. Menyeka air mata, aku membawa tubuh duduk.

Kutatapi dinding kamar dengan pandangan nanar. Pelan-pelan aku sadar bahwa hatiku masih patah. Berucap tegas dan yakin di depan semua orang bahwa aku ingin hubungan dengan Yugi berakhir, ternyata hanya kepalsuan semata. Aku tidak sekuat, tidak serela itu.

Kubenamkan wajah di antara lipatan lengan di atas lutut. Sebisa mungkin meredam suara tangis agar tak terdengar siapa pun. Ini memang sakit, kataku pada diri sendiri. Namun, ini harus dilakukan. Tidak apa-apa, aku pasti bisa melewati ini.

Semua orang di dunia juga pernah patah hati. Bukan hanya aku saja yang menderita. Jadi, nikmati saja. Semoga lekas pulih.

....

Masih ada yang nungguin Serin? Semoga kalian suka sama bab ini.

Terima kasih, sehat selalu, ya.

Dream JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang