Bab 18

397 65 3
                                    

Inginnya bersikap sok keren, tenang-tenang saja. Tidak seperti teman-teman lain yang menangis saat berpamitan pada warga desanya Tius. Aku sudah berulang kali diam-diam menahan napas agar hangat di mata tidak sampai jatuh. Namun, aku kalah saat Tius datang bersama ayahnya.

Aku sudah berpamitan pada mereka tadi pagi. Kukira mereka tak akan mengantar rombongan kami pergi. Eh, ternyata datang. Tius berlari ke arahku. Ia memeluk sebentar, kemudian melambaikan tangan.

Mata jernihnya ikut tersenyum saat berkata, “Nanti datang lagi.”

Tanganku ribut menyeka air mata di wajah, aku mengangguk. Ayahnya Tius, Pak Timoti mendekat dengan langkah ragu. Aku menatapnya penuh atensi. Menunggu kalau-kalau beliau ingin menyampaikan sesuatu.

“Saya mau kasih sesuatu. Kamu mau terima?” Senyumnya terlihat canggung.

Melirik bang Renhard dan kak Fani yang ada di sana, aku mengangguk. Pak Timoti meraih tangan kananku.

“Maaf sudah buat luka tangan kamu,” ucapnya terdengar tulus.

“Iya,” sahutku cepat.

Ayahnya Tius memakaikan sebuah gelang. Kutebak itu dari rotan yang dianyam, karena sebelumnya sudah pernah melihat benda itu dipakai warga sini. Warnanya agak coklat. Cantik. Aku tersenyum senang.

“Aku dapat hadiah,” pamerku pada bang Renhard dan kak Fani. “Makasih banyak, Pak Timoti.”

Ayahnya Tius itu mengangguk. Ia jauhkan tangannya setelah gelang terpasang.

“Itu punya ibunya Tius. Saya kasih kamu, saya janji tidak akan jahat kepada Tius lagi.”

Mataku berhenti berkedip. Dadaku membuncah. Pandangan mulai buram karena titik air mata kembali tumpah. Spontan aku menghambur ke pelukan ayahnya Tius.

Rasanya haru sekali. Diberikan benda seberharga ini oleh seseorang, aku merasa luar biasa berarti. Belum lagi janji beliau tadi. Luar biasa bahagia perasaanku.

“Kak Serin, sudah.” Tius yang tertawa-tawa mendorong aku agar menjauh dari ayahnya. “Itu busmu sudah datang. Sana pulang.”

Berurai air mata, tetapi bibirku tertawa karena usiran itu.

“Pulang dulu, ya. Sehat-sehat, Pak Timoti. Dah, Tius!” Kulambaikan tangan pada mereka, kemudian baik ke bus.

Air mata haru masih jatuh setelah bus bergerak menjauh. Dalam hati aku berterima kasih. Sampai jumpa Tius, terima kasih Pak Timoti, terima kasih desanya Tius untuk semua yang kubawa pulang. Nanti, kalau bisa aku akan datang lagi.

***

Berbeda dengan keberangkatan dulu, saat pulang kami membeli tiket kapal kelas ekonomi. Disediakan tempat tidur untuk semua penumpang. Tidak ada sekat, kurang privasi, tetapi kini suasana terasa hangat. Tidak terlalu buruk, tidak terlalu asing, seperti saat pergi dulu.

Aku kebagian tempat tidur sebelah kiri. Di seberang kak Fani, aku tergemap ketika tahu yang di sampingku adalah bang Yugi. Oh, tidak. Ujianku belum selesai rupanya. Aku cemas, tetapi tetap berusaha tenang.

Saat makan, kuiyakan ajakan kak Fani untuk jalan-jalan ke bagian samping kapal dan menikmati pemandangan sebentar nanti. Kami makan bersama sambil bercerita soal hal-hal sewaktu di tempatnya Tius.

Selesai makan, aku dan kak Fani pergi ke dek samping kapal.

“Jadi, gimana? Pengalaman pertama lo berkesan?” tanya perempuan itu setelah kami sama-sama membisu selama beberapa saat.

Kuberi dia anggukkan. “Kayak kata bang Yugi. Meski apa yang aku lakuin itu kecil, kurang dibanding apa yang desanya Tius butuh, tapi aku udah lakuin sepenuh hati. Mudah-mudahan bermakna.”

Dream JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang