"Ups."
Seruan itu membuatku menoleh. Wajah ini terasa tebal dan panas sekali mendapati jika yang datang adalah Gita. Adiknya bang Yugi ini pasti sudah berpikiran aneh-aneh karena menemukan aku berbaring di atas ranjang rawat bersama kakaknya.
Namun, ini tak sepenuhnya salahku. Setelah tadi Gita muncul tiba-tiba dan mengajak Tante Mel bicara berdua, bang Yugi yang mengajak aku ke sini. Pria yang tengah tidur ini memintaku menemani. Pengakuannya, beberapa hari ini tidurnya tidak nyenyak.
Aku hanya iba, karena itu setuju ikut naik dan berbaring bersamanya. Sudah kucoba turun, tetapi tiap bergerak, tangan Bang Yugi selalu mencegahku bangkit.
"Geli banget lihat si Yugi tidur meluk-meluk begitu?" komentar Gita sembari menarik kursi untuk dia tempati. "Lo nggak pegel?"
Daripada dituduh mengarang alasan, aku sengaja bergeser menjauh sedikit. Lengan bang Yugi dengan cepat menggapai pinggang dan menarikku untuk kembali rapat dengannya. Ada suara keluhan parau dari bibirnya. Kuberi senyum malu pada Gita yang bergidik ngeri.
"Gini, gue udah ngomong sama ... ibunya Yugi."
"Tante Mel? Mamamu?"
"Ibu itulah pokonya," ralatnya seolah tak nyaman dengan sebutan mama.
"Enggak boleh begitu. Dia Mamamu." Aku mengingkatkan. Bukan sok benar, tetapi aku yakin hatinya juga sakit menyebut ibunya sendiri seperti orang asing.
Gita mengangguk saja. Dia terlihat enggan, tetapi tak menyuarakan bantahan lagi.
"Gue udah ngomong sama Mama. Dan dia setuju kalian nikah."
Kelopak mataku mengerjap cepat. "Apa?"
Gadis itu tertawa. "Lo seneng apa nggak, sih?"
"Kok bisa?" Aku menutup mulut dengan tangan saat sadar suaraku meninggi.
Tadi itu, saat aku belum sanggup menentukan pilihan antara menunggu restu Tante Mel atau bersikeras melanjutkan hubungan dengan bang Yugi, Gita datang. Anak itu meminta bicara berdua dengan ibunya. Apa pembicaraan itu menyangkut hubunganku dengan kakaknya?
"Gue ajak barter," kata Gita seraya menarik napas dalam. "Pas tahu dia kecelakaan, gue sebenarnya udah pengen datang jenguk." Kini tatapan Gita jatuh pada kakaknya yang tertidur. "Apalagi kata Mama keadaannya parah."
Aku memilih tak bersuara dan menyimak cerita Gita.
"Tadi, pas mau ke ruangan dia, gue dengar obrolan lo sama Mama. Mama gue nyeremin, 'kan? Dia selalu mentingin dirinya sendiri. Gue marah, nggak tahu kenapa pas denger lo nangis, emosi gue nggak bisa ketahan. Gimana bisa hatinya dia tetap dingin, setelah ngelihat anak orang nangis dan mohon-mohon kayak yang lo lakuin tadi."
Kulihat mata Gita berkaca-kaca. Dia menggeleng kecewa.
"Belum lagi pas gue dengar Yugi bentak lo. Gue jadi yakin kalau dia beneran pengen nikah." Perempuan itu menipiskan bibir, berusaha tersenyum.
"Jadi, gue putusin barter," lanjut Gita.
"Barter apa?" tanyaku cemas.
"Gue ... bakalan pulang." Gita melipat bibirnya ke dalam. Matanya mengerjap nanar dengan tatapan masih terarah pada kakaknya. "Asal, Mama kasih restu ke kalian dan berhenti ungkit-ungkit si Anita itu. Ih, gue baru lihat wajahnya. Sumpah, nggak banget. Itu idungnya asli, nggak, sih, Kak?"
Terhenyak, aku mengerjap makin banyak.
"Kayaknya dioperasi, 'kan? Dagunya juga runcing banget." Perempuan itu bergidik lagi. "Jelas Yugi nolak. Tipe perempuan kayak dia itu hobinya flexing berlian dan tas, bukan pergi ke pelosok ngajar anak buta huruf membaca. Mereka nggak akan cocok, yakin gue." Kepalanya mengangguk yakin dengan raut wajah sewot.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream Journey
عاطفيةSerin begitu mengidolakan Yugi, hingga nekat ikut dalam kegiatan sosial yang pria itu gagas, meski tanpa pengalaman. Berada jauh dari rumah, melakukan kegiatan pengabdian, bisakah Serin bertahan? Mampukah dia memetik sesuatu dari perjalanan itu?