Sudah kulambat-lambatkan gerak kaki. Sudah kukecil-kecilkan jarak langkah. Namun, tetap saja aku sampai di pinggir danau tempat bang Yugi berada. Sepertinya dia tipe orang yang cepat peka, sebab tanpa aku bersuara dia sudah menoleh lebih dulu. Aku terburu menundukkan pandangan. Takut pada satu alisnya yang menaik.
“Nama lo siapa?” tanyanya.
Harusnya bisa tersenyum-senyum karena suaranya yang dalam itu, aku malah dilingkupi cemas hingga kedua tangan yang berada di balik punggung saling meremas.
“Serin, Bang,” sahutku pelan.
Sudah ini interaksi paling intim yang aku punya dengannya --berduaan--kondisinya malah tidak enak. Bukannya mengobrol dari hati ke hati, membuatnya bercerita banyak, aku malah membuatnya marah.
Sialan sekali aku ini.
“Kalau misal berubah pikiran, di sini menurut lo terlalu berat, lo boleh bilang, kok,” katanya lembut, tetapi menusuk.
Aku melipat bibir ke dalam. Ini lebih buruk daripada diomeli Lia tadi pagi. Rasanya tak sanggup menunjukkan wajahku di depan lelaki ini lagi. Dia baru menyuarakan usiran dengan kalimat tak langsung.
Dia pasti tidak akan menyukaiku setelah ini.
“Kalau nggak siap capek, jangan jadi relawan.”
Kalimatnya halus, tetapi sarat akan usiran. Aku makin menyesal karena sudah bangun terlambat. Kenapa, sih, aku harus kesiangan di hari pertama pula?
“Nggak ada yang maksa lo. Kalau mau pulang, kita bisa bantu.”
Cepat kepalaku menggeleng. Kutatap dia dengan wajah dilipat dan ekspresi keruh. Sumpah, melihat air muka kecewanya sekarang, aku malah ingin menangis.
Aku salah. Aku sudah sangat bersalah.
“Ikut kegiatan ini, lo mau kasih sesuatu, ‘kan?”
Wajahku menghadap ke bawah lagi.
“Kalau memang niat itu masih ada, ini harus jadi kesalahan terakhir. Bangun kesiangan itu mencerminkan kalau lo nggak peduli. Dan kalau memang benar nggak peduli, mau apa di sini?”
Bibirku kelu. Pelan-pelan mataku panas. Pandangan jadi buram karena akhirnya air mata tumpah.
Bang Yugi tak bicara lagi. Dari ekor mata kulihat dia menatap ke arah danau. Hening mengambil tempat di antara kami untuk beberapa saat.
“Udah nangis begini, masih mau bertahan apa pulang?”
Kedua tanganku sibuk mengusapi air mata. “Enggak mau pulang,” pintaku sambil mati-matian tak memperdengarkan isakan. Aku tak mau diejek cengeng dan berlindung dibalik tangis.
Aku berkata tidak mau pulang. Namun, aku juga bertanya apa yang aku perjuangkan di sini? Ikut membantu menuntaskan buta aksara di desa ini, seperti program yang DreamTeam usung? Relawan lain yang punya latar belakang sebagai pendidik jelas bisa melakukannya. Kenapa aku harus bersikeras, kalau memang tidak mampu memberi apa-apa?
Kegelisahan itu menumpuk di kepalaku. Aku pusing. Bimbang rasanya saat tidak nyaman.
Kulihat Bang Yugi berdiri. “Oke,” putusnya sambil mengangguk singkat. “Lo dihukum. Dari sini ke pintu belakang rumah, jalan jongkok.”
Tidak berani melihat wajahnya, aku mengangguk. Itu hukuman yang lebih ringan daripada diceburkan ke danau seperti dugaanku tadi. Dan juga, semoga itu setimpal untuk membayar kekecewaan di matanya tadi.
Maaf, Bang Yugi.
***
Hari ini aku bangun pagi. Tidak terlambat, bisa mengatur wajah sebentar agar tidak terlalu lusuh macam kemarin. Ternyata desa ini punya toilet umum yang tertutup khusus untuk mandi. Memang perlu jalan kaki sepuluh menit ke sana, mau tak mau harus ditempuh, daripada ke sekolah dan bertemu adik-adik dalam keadaan tubuh beraroma tidak sedap. Tidak ada yang mengomeliku, kak Fani bahkan memberi jempol waktu melihatku sudah hampir siap berangkat pukul enam pagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream Journey
RomanceSerin begitu mengidolakan Yugi, hingga nekat ikut dalam kegiatan sosial yang pria itu gagas, meski tanpa pengalaman. Berada jauh dari rumah, melakukan kegiatan pengabdian, bisakah Serin bertahan? Mampukah dia memetik sesuatu dari perjalanan itu?