Tempo hari melihat bang Yugi memasang sendiri infus, sore ini aku dapati dia melepasnya. Dia lakukan sendiri lagi, tanpa bantuan siapa pun. Dan aku tak melihat ada raut kesakitan atau takut di wajahnya. Lelaki itu melakukannya dengan cekatan dan tanpa ekspresi mengeluh. Padahal, dia baru sembuh dari sakit.
Berbeda sekali dengan aku. Kalau sakit, aku ini akan jadi orang yang paling merepotkan. Makan harus diambilkan, proses pemulihannya juga akan lama, tidak seperti lelaki itu yang dalam semalam saja sudah terlihat normal kembali.
Usai bang Yugi membereskan kantung infus, jarum dan sebagainya, aku angsurkan makanan yang kak Fani titip untuk dibawakan. Yang lain sedang makan di kantin, kak Fani menyuruhku makan di sini.
“Bisa, Bang?” Kusisihkan piring di atas tempat tidur. Kuhampiri dia, menunggu dia menjawab. Siapa tahu ia butuh bantuan untuk makan.
Bukan langsung menjawab, bang Yugi malah menatapi. Dia berkedip lambat-lambat seolah sedang menimbang sebuah keputusan yang sulit. Apa yang salah? Aku hanya ingin membantu dia makan, kalau memang dia belum punya tenaga untuk makan sendiri.
“Bang,” panggilku karena dia terus diam.
“Lo mau nyuapin gue?”
Mataku mengerjap. “Kalau butuh,” gumamku sambil memalingkan wajah.
“Terus, lo gimana makan-nya?”
Aku mengambil piringku, lalu duduk di tepian tempat tidur bang Yugi. “Gampang, bisa sekalian.” Kuambil alih piring lelaki itu. “Di rumah, aku biasa makan sambil suapin adek.”
Satu suapan pertama masuk ke mulut bang Yugi. Dia mengunyah santai. “Lo punya adek?” tanyanya.
Aku mengangguk. Gantian aku yang makan. Kami tak bicara lagi sampai nasi di piring masing-masing habis. Bang Yugi akan minum, aku membukakan botol miliknya.
Lelaki itu protes, “Buka tutup botol doang gue bisa kali.”
“Kan Abang sakit. Udah harusnya dibantu ngapa-ngapain.” Aku berdiri dengan dua piring di tangan. “Aku balikin piring dulu, ya. Abang mau sesuatu?”
Dia menggeleng. Namun, saat aku sudah berbalik, tanganku malah dicekal.
“Thanks, ya,” katanya.
Kuberi dia senyum. “Kembali, Bang Yugi,” balasku sebelum lanjut berjalan untuk mengembalikan piring ke kantin.
***
Sendirian, aku duduk di dek samping kapal sore ini. Sebuah buku ada di pangkuan, ada pena di dalamnya. Beberapa saat lalu aku terpikirkan sesuatu. Hal-hal itu kutuliskan di pembatas buku.
Aku dilema. Haruskah kuberikan ini pada dia? Namun, untuk apa? Apa ucapan terima kasihku penting buatnya? Namun, bukankah aku bebas menunjukkan dan membagi perasaanku padanya?
Mendesah susah, aku menutup buku bersampul putih di pangkuan. Kembali memanjakan mata dengan pemandangan laut yang sebentar lagi tak akan bisa kunikmati, perasaanku tidak nyaman saat kepala berkata bahwa surat ini tak harus kuberikan pada dia.
“Fani mana?”
Aku mendongak. Bang Yugi yang bertanya. Bibirku mengatup rapat sekali untuk beberapa saat.
“Tidur kayaknya,” jawabku sambil duduk tegak.
Pikirku lelaki itu akan pergi setelah mendengar jawabanku. Eh, dia malah mengambil tempat tepat di sampingku. Kami bertatapan untuk beberapa saat, aku duluan yang memalingkan wajah.
“Nanti malam kapalnya udah nyampek pelabuhan,” beritahu bang Yugi.
Aku mengangguk. Novel kupeluk makin erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream Journey
RomanceSerin begitu mengidolakan Yugi, hingga nekat ikut dalam kegiatan sosial yang pria itu gagas, meski tanpa pengalaman. Berada jauh dari rumah, melakukan kegiatan pengabdian, bisakah Serin bertahan? Mampukah dia memetik sesuatu dari perjalanan itu?