Bab 34

2.4K 135 5
                                    

Tanpa perlu membuat rencana besar yang kompleks. Atau merancang sesuatu yang besar dan sulit. Tante Melina berhasil membuatku merasa sangat tidak pantas.

Sore tadi, ibunya bang Yugi berkata ingin mengajak makan malam. Sebagai calon menantu yang sedang mengusahakan restu, aku menyanggupi walau dengan dandanan seadanya. Kukira makan malam biasa. Ternyata, beliau mengajak ke restoran mewah.

Hanya kami berdua, bang Yugi tidak ikut. Nanti katanya akan menjemput. Tante Melina beralasan ini privat untuk kami, agar bisa lebih saling mengenal lagi. Bohong. Dusta. Sejak datang hingga makanan pesanan tiba, wanita itu tak berhenti mengungkit kelebihan bang Yugi, kemudian membandingkannya dengan kelemahanku.

Jelas jomplang. Mesti tidak setara. Bang Yugi sarjana, sudah dokter umum pula. Aku ini apa? Hanya perempuan dari kota kecil, tidak sekolah tinggi dan pengangguran. Tidak cantik pula.

Tante Mel menyebutkan profil Anita. Dia bandingkan dengan bang Yugi. Jelas seimbang. Jelas setara.

"Jelas mereka cocok," ujarnya dengan tatapan sinis.

Di kursi, aku menunduk dan menatapi pinggiran meja saja. Sudah tak ada hasrat untuk menangis atau membantah. Aku lebih fokus menerka bagaimana cara menikmati steak di piring dan juga apa benar yang barusan dituang ke gelas tinggi di hadapan kami adalah anggur.

"Kamu menangis?" Tante Mel menanyai, setengah mengejek.

Padanya aku tersenyum kuda. Kepalaku menggeleng.

"Jangan kamu mengadu yang tidak-tidak pada Yugi!" peringatnya.

Aku mengangguk saja. Kemudian, Tante Melina mulai makan. Dia tampak lahap. Salahnya, ketika beliau menoleh, dia menemukan aku masih mematung dan menatapi piring.

Alisnya meruncing curiga. "Kenapa belum makan? Tidak suka daging? Itu daging premium."

Menipiskan bibir, aku mencondongkan badan. Mengamati beliau, aku memegang garpu dan pisau. Kenapa juga tidak disediakan cuci tangan?

"Kamu tidak bisa makan dengan garpu dan pisau?"

Aku cuma melirik, wanita di hadapanku terbahak kencang. Setelahnya, beliau minum cairan merah dari gelas. Dia bersedekap dengan sorot penuh cemooh.

"Table manner saja kamu tidak tahu, sok-sok-an mau bersanding dengan anak saya. Kamu tahu tidak kalau rekan kerjanya Yugi itu orang terpandang semua? Bersama kamu hanya akan membuat anak saya malu, kamu tahu itu?"

Kuletakkan garpu dan pisau. Aku tertunduk, makin merasa rendah diri. Bagaimana kalau benar suatu saat aku membuat bang Yugi malu?

"Sudahlah tidak cantik, tidak kaya. Apa lebihnya kamu dari Anita? Tidak ada."

Habis bicara begitu, Tante Melina pamit untuk ke toilet. Aku yang kepalang kesal langsung meneguk isi gelas. Tegukan pertama terasa aneh, kupaksa diri mengosongkan gelas. Aku kepanasan.

"Apa lebihnya aku dari Anita?" ucapku bermonolog. "Banyak!"

Tak lama Tante Melina kembali dari toilet. Beliau agak aneh karena bayangannya jadi ada tiga di mataku. Dia bicara lagi, tetapi suaranya samar masuk ke telinga. Di sisi lain, aku merasa tubuh begitu ringan.

"Kamu dengar saya?" Kali ini suara Tante Mel agak meninggi.

Aku mengangguk saja. Kuambil garpu, niatnya ingin menusuk daging, tetapi dagingnya bergerak-gerak. Aku mengikuti gerak daging tadi, tetapi tetap saja gagal menusuknya. Kesal sendiri, aku melempar sendok dari tangan.

"Apa-apaan kamu ini?" Tante Mel menegur.

Padanya, aku tertawa saja. Tak lama, bang Yugi datang. Sama seperti Tante Mel tadi, wajah pria itu ada tiga. Dia mengajakku bicara, tetapi aku tak tahu dia bilang apa.

Dream JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang