Bab 25

2.5K 177 4
                                    

"Jangan senyum, kucium baru tahu rasa kau."

Dalam kepala, aku sudah memperkirakan dampak dari kenekatan ini. Bang Yugi pasti terkejut, kemudian pamit pulang. Meski nanti aku akan hilang muka, tetapi hal baiknya dia akan pergi dari rumah ini. Walau aku sebenarnya sedih kalau dia pergi, bukankah itu yang paling baik?

Kutatap lurus matanya yang membola. Kutarik tangan yang masih dia pegangi, kali ini mataku yang melebar karena dia malah menarik balik.

Mataku mengerjap cepat. Ada senyum tipis di bibirnya beberapa saat lalu. Dia memalingkan wajah.

Kutunggu beberapa saat, dia tak kunjung menyuarakan apa-apa. Bingung sendiri, aku kembali menarik tanganku.

"Bang Yugi," panggilku dengan suara tercekat.

"Ya?" Dia malah menjawab.

"Lepas." Kulirik tanganku yang masih terkurung kungkungan jari-jarinya.

"Ke mana kita?" Dia bertanya.

"Ke mana?" Aku menaikkan nada. "Aku enggak tahu tempat-tempat bagus di Medan. Bang Renhard aja nyari sendiri."

"Gue juga bisa nyari sendiri. Ayok, jalan." Dia berdiri, serta merta menarik tanganku hingga aku juga beranjak.

Pria itu berjalan ke ruang tengah, menghampiri Bapak dan Ibu.

"Pak, Buk, saya boleh ajak Serin keluar sebentar? Mau jalan-jalan dekat sini."

Kutatap Bapak dan Ibu bergantian. Kuberi isyarat agar mereka tidak memberi izin. Namun, apa? Bapakku malah mengangguk mantap.

"Oh, silakan, silakan!" katanya dengan suara bersemangat. "Asal hati-hati biar jangan jatuh lagi dia. Di rumah terus, nanti stres pulak."

Suara tawa Bapak mengiringi langkah kami meninggalkan rumah. Bersungut-sungut masuk ke mobil, aku sempat menaikkan suara pada bang Yugi saat lelaki itu berniat memasangkan seat belt.

"Bisa sendiri. Udah diajarin bang Renhard!" kataku sambil memicing padanya.

Dia memasang wajah datar lagi, kemudian kembali ke kursi kemudi. Dia melajukan mobil. Mulanya kendaraan ini berjalan dengan kecepatan biasa, entah perasaanku saja tetapi gerak mobil makin bertambah cepat sekarang.

Aku baru ingat tadi tak bertanya mau diajak ke mana. Menunggu dia bersuara duluan, kurasa sudah satu jam kami berjalan tak tentu arah. Aku sepenuhnya panik waktu dia melewati gerbang tol.

"Bang, kita mau ke mana?"

"Ke Jakarta. Gue mau nyulik lo."

Berdecak-decak, aku nekat menarik-narik kain lengan kemejanya. "Bang!" panggilku dengan suara merengek. "Mau ke mana, kenapa masuk tol?"

Bang Yugi menjauhkan lengannya dari jangkauanku. "Awas!" usirnya.

Aku langsung menarik tangan. Mendadak aku merasa suasana di mobil jadi tidak nyaman. Dia sungguhan marah?

Pria itu enggan menengok balik setelah cukup lama kupandangi, aku bergeser menjauh, rapat dengan pintu. Memalingkan wajah ke jendela, aku  mendadak merasa sangat sedih.

Apa aku sudah keterlaluan pada bang Yugi? Karena tadi aku agak membentaknya? Dia marah karena itu? Atau karena sejak dia datang tadi aku terus bersikap seolah tak senang dan terganggu?

Menatapi pohon dan sawah yang berada di sepanjang jalan tol, aku tak bisa mengendalikan emosi sedih yang semakin pekat. Ini di mana aku tidak tahu. Bang Yugi yang marah makin membuat aku takut. Alhasil, sisi cengengku keluar. Air mataku jatuh.

Kurapatkan bibir agar isakan tak lolos, pada akhirnya upaya itu juga gagal. Suara tangisku terdengar pelan di mobil yang terus melaju kencang itu.

"Serin?" Bang Yugi akhirnya buka suara. "Lo nangis?"

Dream JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang