Bab 23

372 60 2
                                    

Aku sengaja mengabaikan pesan dari bang Yugi beberapa hari ini. Dia bilang sudah meminta nomor kontak whats-app-ku dari kak Fani. Dia sudah mengirim pesan ke nomorku itu dan menebak kalau aku sedang tidak ada kuota hingga tak bisa membalas.

Sebenarnya, aku memang sengaja belum membalas pesannya itu. Kubaca, lalu kudiamkan selama dua hari. Sengaja, aku masih kesal karena dia mengatai aku mau-mau saja disuruh bang Renhard. Namun, hari ini aku akhirnya membalas pesan dokter itu.

Pesannya datang pukul enam pagi, katanya dia baru saja pulang. Aku penasaran, jadi kutanya mengapa bisa pulang pagi. Ternyata dia menjaga IGD. Dari yang kuingat, biasanya kalau jaga di sana, dia pasti tidak tidur dan pulangnya memang pagi.

Kasihan sekaligus salut dengan kerja kerasnya, maka aku membalas pesan itu. Dia sempat menelepon, tetapi aku tidak angkat. Kataku kirim pesan saja, dia malah mengirim pesan berupa emoji wajah tersenyum. Kutanya kenapa dia begitu, jawabnya membuat dadaku seperti mau meledak.

[Gak tahu. Manis aja.]

Begitu pesan yang dia kirim. Kan aku jadi ingin salah paham. Yang dia sebut manis bukan gula, 'kan? Kami kan tidak sedang membicarakan gula?

Beberapa hari setelahnya, bang Yugi tiba-tiba mengirimi pesan di jam satu dini hari. Lelaki itu bertanya apa benar aku dan bang Renhard dijidohkan. Dari nada ketikannya, aku menyangka dia sinis. Mungkin, menurutnya ini sudah bukan zamannya jodoh-jodohan. Belum sempat aku menjelaskan situasi, dia terus mengirim pesan tanpa henti.

Kutebak, dia kesal? Dan dia membenarkan. Kubilang tak mau menjawab kalau dia masih marah, dia memaksa aku harus menjawab.

Kan! Ada-ada saja kelakukan dokter satu ini yang membuat orang ingin salah paham.

Kenapa dia harus marah kalau pun benar aku dan bang Renhard dijodohkan?

Iseng, aku biarkan pertanyaan itu. TIdak kuberi jawaban. Dia berhenti mengrim pesan atau menelepon selama beberapa hari, sampai akhirnya hari ini aku melihat dia memajang sebuah foto di akun media sosialnya.

Tidak ada keterangan di foto itu. Namun, hatiku rasanya patah lagi. Aku seolah kembali diingatkan kalau lelaki bernama Yugi Arghana itu memang sudah punya calon istri.

Segera menutup aplikasi itu, aku memadamkan layar ponsel. Turun dari tempat tidur, aku pergi ke teras. Hari sudah larut, Ibu dan Bapak sudah pergi tidur, aku duduk sendirian di sana. Menatapi jalanan kecil di depan rumah yang sesekali dilewati pengendara, wajahku sudah pasti dihiasi mendung.

Apa perempuan di foto tadi adalah pacarnya Yugi? Tunangan yang sebulan lalu sempat disinggung kak Fani? Sepertinya iya.

Apa Yugi dan perempuan itu sedang liburan di pantai? Karena itu bang Yugi mengambil foto tadi dan memasangnya di beranda medsos?

Ah, dasar jodoh orang. Harusnya tidak usah pamer-pamer kebahagian dia itu. Kan bikin hatiku patah lagi. Aku juga salah, sih. Kenapa harus patah hati? Bukannya bang Yugi itu bukan siapa-siapa?

Apa besok aku cari pacar saja, ya? Supaya bisa benar-benar lupa pada bang Yugi? Namun, mau cari pacar di mana? Memang ada lelaki yang mau denganku?

Menghela napas, di kursi aku menggeleng kuat. Tidak. Mencari pacar saat baru saja patah hati bukan keputusan benar. Yang patut kulakukan saat ini adalah menyibukkan diri dengan berbagai hal berguna. Mencari ide baru untuk tulisan, supaya lebih produktif dan lebih menghasilkan misalnya?

Apa kutulis saja kisah cinta bertepuk sebelah tanganku ini jadi sebuah novel sedih? Ide yang tidak buruk. Siapa tahu dengan menuliskannya, sakitnya bisa berkurang sedikit, 'kan?

Ah, iya. Itu ide bagus. Sebagai permulaan, mari tidur dan mengkhayal aku berhasil merampungkan sebuah novel sedih yang terinspirasi dari kisah nyata, disukai banyak pembaca, dicetak penerbit besar, laris di pasaran, lalu diadaptasi jadi film.

Wuhuu! Mari, mimpi saja dulu. Kita tidur dulu.

***

Dua bulan berlalu dari kejadian bang Yugi memasang foto bersama pacarnya, aku mengalami sedikit insiden. Karena iseng ingin bisa naik sepeda, aku belajar. Bukannya jadi mahir, malah jatuh ke selokan.

Beruntung yang luka cuma pelipis, lutut dan pergelangan kaki. Kejadiannya tadi sore, malam ini karena belum bisa tidur, aku iseng mengadu pada bang Renhard dan kak Fani. Sesuai dugaan, kak Fani mentertawakan di awal. Kemudian dia menanyai apa keadaanku parah. Lucunya, beberapa menit kemudian dia mengirim bukti kalau sudah mentransfer sejumlah uang ke rekeningku.

Aku tertawa-tawa. Ingin menolak, tetapi aku yakin perempuan itu tak akan mau niatnya diprotes. Pada akhirnya, aku terima saja uang itu dan tak lupa mengucapkan terima kasih.

[Beli makan enak, pergi berobat.]

Begitu kak Fani mengakhiri percakapan karena katanya dia masih ada urusan pekerjaan.

Bang Renhard, seperti biasa. Lelaki baik itu banyak bertanya. Aku jadi sepenuhnya yakin kalau pria satu ini memang tipe yang perhatian, lebih-lebih ke orang-orang yang dekat dengannya. Dia bahkan menelepon, tetapi aku tidak angkat.

Saat akan membalas pesan bang Renhard lagi, layar ponselku tahu-tahu berkedip-kedip, Sebuah panggilan video datang, dari bang Yugi. Jantungku langsung maraton. Aku duduk dan menatapi layar ponsel dengan tatapan gusar.

Bagaimana ini? Dijawab saja panggilan itu? Kenapa? Untuk apa?  Memang aku tidak malu bertemu muka dengan bang Yugi di keadaan begini? Malah ada perban di pelipisku. Setelah dua bulan, aku harus tampil menyedihkan begini di hadapan dia?

Eh? Memang apa peduli dia?

"Ngapain, sih, dia telepon?" sungutku saat panggilan berhenti. Kuketik pesan bertanya untuk apa dia menghubungi.

Tak lama balasannya datang.

[Angkat, gue mau lihat keadaan lo.]

Keadaanku? Memang aku kenapa?

Aku langsung terpikirkan bang Renhard. Kutanyai dia, benar dia yang mengadu soal aku yang jatuh kepada bang Yugi. Dasar menyebalkan. Untuk apa dia menyampaikan itu?

Panggilan video dari bang Yugi datang lagi. Kubiarkan sampai mati. Lelaki itu mengrimi pesan lagi. Kali ini seperti ancaman.

[Kalau lo nggak angkat, gue ke Medan besok.]

Berkedip lambat-lambat, aku tertawa kecil. Siapa yang dia ancam begitu? Memang aku anak kecil? Bocah yang bisa ditipu begitu mudah?

Kuambil foto pergelangan kaki dan lutut yang ditempel perban. Kukirim itu ke bang Yugi dengan keterangan tambahan,

[Satu lagi perbannya di pelipis. Aku enggak pa-pa, kalau itu yang Abang mau tahu.]

Setelah mengirim pesan itu, aku berbaring. Aku menghela napas. Teringat sudah dua bulan berlalu sejak foto romantis itu, apa sekarang bang Yugi sudah menikah?

Aku sengaja menghindari bahasan soal dia tiap kali bertukar kabar dengan bang Renhard atau kak Fani. Bahkan, kalau bukan karena rindu sekali, aku urung mengintip akun media sosialnya, seperti dulu. 

Sekarang aku penasaran sendiri. Dia ... apakah sudah menikah? Siapa.tahu foto yang dia pasang kemarin itu adalah bagian dari foto prewedding, kan?

....

Makasih udah mampir dan baca ceritanya Serin. Sehat selalu, ya.

Dream JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang