"Bang, kenapa dari tadi mutar-mutar?" Sejak tadi membisu dan larut menatapi pemandangan di luar jendela, aku mengumpulkan niat dan bertanya pada bang Yugi.
Lelaki itu mengajakku berkeliling. Sejak kemarin sebenarnya sudah menawari jalan-jalan, tetapi baru aku setujui hari ini. Maklum, suasana hati sedang buruk.
Menjawab pertanyaanku tadi, bang Yugi berkata, "Nungguin kamu ngomong, Sayang."
Mobil kami perlahan menepi. Yugi menatapku. Aku tahu senyum tipisnya itu dibuat-buat.
"Mood kamu lagi jelek, ya, Sayang?"
Tidak mengelak, aku memberi anggukkan. "Besok aku pulang, ya?"
Seketika senyumnya lesap. Pria yang sejak tadi masih berusaha mengajak bicara itu terdengar menarik napas panjang, sebelum menghembuskannya kasar. Dia menatap ke depan, jemarinya mengetuk kemudi cepat.
"Kita udah bicarakan ini, kan, Serin?" Kali ini tak ada nada jahil atau jenaka di caranya berucap. Aku bahkan melihat rahangnya mengetat.
"Udah," jawabku tak kalah serius. "Dan aku merasa udah waktunya aku pulang."
Yugi memiringkan tubuh hingga kami saling bertatapan. "Terus? Apa keputusan kamu?"
Wajah bang Yugi tampak keruh. Alisnya bertaut tak senang. Tatapannya menajam.
Aku memindahkan tatap ke depan. "Nanti aku kasih tahu. Aku pulang dulu."
Kemudian hening. Canggung dan dingin mengisi jeda yang cukup lama di antar kami. Jika aku tak salah hitung, mungkin ada setengah jam. Sudah kepalaku penuh, emosiku kacau balau, pada akhirnya aku mengantuk dan ingin tidur. Rasanya sudah tak ada hal yang bisa dibicarakan di sini.
Kurebahkan kepala ke sandaran kursi. Memalingkan wajah ke jendela, aku mulai memejam. Rasanya aku baru tertidur beberapa detik, lalu tiba-tiba aku merasa seperti jatuh dari tempat tinggi. Tersentak, aku terjaga dari tidur.
Di depanku ada bang Yugi. Dia memegangi tangan. Aku baru sadar kalau sekarang sudah berbaring, bukan duduk. Dan ini bukan di mobil, tetapi kamar di apartemen bang Yugi.
"Kebiasaan, ya, kamu," ujar Yugi sambil mengusapi kepalaku. "Paling nggak bisa banyak pikiran, langsung tepar."
"Keknya baru tidur sebentar," keluhku seraya balas menggenggam tangannya.
"Kamu dibangunin nggak mau, jadi aku gendong tadi. Badanmu anget," beritahunya.
"Kepalaku sakit," aduku.
"Mama bilang apa, sih, sama kamu?" Tiba-tiba dia mengungkit perjumpaanku dengan ibunya kemarin. "Aku udah tanya mama, katanya nggak ada. Kalau nggak ada, kok, kamu jadi kepikiran gini?"
"Memang enggak ada," elakku sambil memiringkan tubuh dan memejam.
Tidak mungkin aku mengatakan yang sebenarnya. Yugi pasti akan terlibat konflik dengan ibunya. Lagipula, apa yang dibilang buk Melina tidak salah. Aku memang tidak pantas dengan anaknya ini.
Duduk di tepian ranjang, bang Yugi membungkukkan tubuh agar bisa memelukku. "Jangan bohong. Kasih tahu aku. Mama bilang apa? Apa ada kalimatnya yang nyakitin kamu?"
"Enggak ada," jawabku masih berbohong. "Buk Melin cuma bilang dia enggak kasih restu ke aku."
Kemarin itu, ternyata bang Yugi memberitahu ibunya kalau aku ini bukan pembantu. Yugi mengatakan kalau aku calon istrinya. Buk Melina meminta konfirmasi dariku, lantas kubenarkan.
"Tapi, saya sudah jodohkan Yugi dengan Anita."
Begitu kata buk Melina setelah beliau terdiam cukup lama, entah karena heran atau apa. Dia bahkan tak mau membuang waktu untuk bertanya di mana aku mengenal anaknya dan sejak kapan kami berhubungan. Seolah benar tak ada celah sedikit pun untuk aku bisa mendapat perhatian, apalagi restunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream Journey
RomanceSerin begitu mengidolakan Yugi, hingga nekat ikut dalam kegiatan sosial yang pria itu gagas, meski tanpa pengalaman. Berada jauh dari rumah, melakukan kegiatan pengabdian, bisakah Serin bertahan? Mampukah dia memetik sesuatu dari perjalanan itu?