Kemarin itu, Lia mengomeliku lagi. Kejadiannya bermula karena aku jadi orang yang harus bertanggungjawab menyiapkan makanan. Masakanku keasinan. Padahal, aku sudah mengerahkan semua tenaga untuk membuat telur sambal itu. Namun, Lia tak bisa melihat usahaku itu.
“Dasar nggak becus! Apa, sih, yang bisa kelompok ini harapkan dari lo?”
Di depan teman-teman dia mengatakan itu dengan suara kencang. Hilang muka, sedih sekali rasanya waktu itu.
“Mending pulang aja, deh. Nggak usah sok-sokan jadi relawan. Nyusahin!”
Kemarin waktu dia membentak-bentak begitu, aku tidak membalas. Aku sadar mungkin makananku terlalu asin di lidahnya, karena itu emosinya jadi tinggi. Eh, tidak kusangka akan terbawa sampai mimpi seperti kemarin.
Sebelumnya malu karena dibentak-dibentak Lia, kini kurasakan itu tak ada apa-apanya ketimbang harus bertemu bang Yugi, setelah peristiwa aku mengigau. Apalagi, aku tidak bisa benar-benar menghindari lelaki itu sebab hari Minggu ini kami ada kegiatan. Hari ini kami akan membantu divisi kesehatan menjalankan programnya.
Ingin izin tidak ikut, aku punya alasan masih sedikit demam sebenarnya. Namun, aku takut menarik perhatian Lia lagi. Terpaksa aku turut serta. Perjalanan menuju rumah kepala desa ditempuh dengan berjalan kaki, aku sebisa mungkin menghindar dari lingkup pandangan bang Yugi.
Lima belas menit berlalu dengan aman. Aku mengambil barisan di belakang, sedangkan sebagai pemimpin bang Yugi di depan. Sesekali teman di sebelah mengajak bicara, aku menimpali berusaha menjadi ramah. Mungkin, karena itulah aku tak sadar kalau bang Yugi sudah berpindah. Kini, dia berjalan tepat di depanku.
“Kata Fani, lo penulis, ya?”
Buyar sudah isi kepalaku soal bagaimana harus menghadapi bang Yugi. Aku menoleh pada teman di sebelah. Mataku berkedip cemas sampai langkahku terjeda karena begitu terkejut. Segera aku menggeleng.
“Bukan, Kak. Aku tukang ngarang, tukang jualan cerpen doang.” Senyumku terasa kaku.
Dasar kak Fani. Suka sekali mengerjai aku. Sudah kuminta untuk merahasiakan ini, dia malah membesar-besarkan topik.
“Sama aja, dong, Serin.” Perempuan di sebelahku tersenyum, pikirnya aku sedang melawak mungkin. “Lo keren banget.”
Kepalaku menggeleng penuh bantahan. “Bukan penulis, cuman tukang ngarang. Penulis itu kalau bukunya tentang ilmu yang bermanfaat ata cerita yang kasih banyak pelajaran dan pesan moral. Aku cuma bisa buat cerita cinta-cintaan aja. Bukan penulis, Kak.” Kuperlihatkan wajah memelas padanya.
Tuduhannya tadi itu beban. Khususnya bagiku yang merasa karya yang kuciptakan seringnya hanya berisi hiburan yang minim sekali pesan moral. Aku tidak mau disebut penulis. Aku ini hanya tukang mengarang, pedagang cerita. Orientasi tulisanku bukan ilmu atau edukasi. Hanya hiburan semata. Itu pun masih jauh dari bagus.
Kak Widia mengangguk dan tersenyum saja. Aku lumayan lega, meski tetap malu. Padahal, aku mengaku pengangguran sebelum ini. Kak Fani ini hobi sekali merecoki.
Saat kami tiba di rumah kepala desa, sudah banyak orang di sana. Beberapa memang ada yang sakit, beberapa lagi ingin mendapat pemeriksaan gratis seperti kemarin. Semangatku jadi terpacu. Orang sebanyak ini menyempatkan waktu datang, berarti mereka percaya kami. Artinya tak ada alasan untuk tidak sungguh-sungguh.
Serupa macam kemarin, aku membantu semampunya. Mengatur meja, mengatur antrean calon pasien dan membungkuskan obat yang akan dibawa pulang. Aku lumayan semringah sebab sudah pernah ikut kegiatan ini sebelumnya.
Di sela kegiatan, sesekali pandanganku akan tertuju pada bang Yugi tanpa sengaja. Pertama memang tidak sengaja, kedua dan seterusnya jelas sengaja. Pasalnya, saat bekerja, dia itu makin kelihatan menawan. Caranya bicara lembut sekali. Ditambah cekungan di pipi kanannya yang bisa terbentuk bahkan saat dia tak tersenyum. Ya ampun, hebat sekali Tuhan menciptakan dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream Journey
Roman d'amourSerin begitu mengidolakan Yugi, hingga nekat ikut dalam kegiatan sosial yang pria itu gagas, meski tanpa pengalaman. Berada jauh dari rumah, melakukan kegiatan pengabdian, bisakah Serin bertahan? Mampukah dia memetik sesuatu dari perjalanan itu?