Warning! 18+
*
*
*"Jadi, gitu, Ser." Kak Fani menyudahi penjelasan panjang lebarnya dengan anggukkan pasti, seolah ingin meyakinkan.
Pagi-pagi, bukannya memberitahu apa saja yang akan DreamTeam lakukan hari ini, perempuan itu malah memaparkan padaku bagaimana bisa Anita muncul di sini kemarin. Katanya, Anita tahu alamat ini bukan dari bang Yugi, melainkan dari tim suksesnya, alias Tante Melani.
Ide agar Anita menginap juga bukan datang dari Yugi atau yang lain. Anita sendiri yang bersikeras tak mau ke hotel. Menurut analisis kak Fani itu dilakukan Anita supaya bisa terus dekat dengan Yugi. Namun, yang ada Yugi sudah masuk kamar setelah makan malam.
Kak Fani menekankan lagi bahwa Yugi memang selalu memberitahu ibunya sedang berada di mana dan tengah melakukan apa. Nah, karena itu Anita sampai bisa menyusul. Bukan karena bang Yugi sendiri yang sengaja membagi alamat posko ini dan meminta Anita datang, seperti tebakanku.
Pada kak Fani aku mengangguk saja. "Terserahlah, Kak mau siapa yang kasih tahu. Bukan urusanku juga," balasku malas.
Aku sudah lelah. Malas juga membahas ini. Selain membuat tak bisa cepat sembuh dari patah hati, terus memikirkan Yugi dan segala hal tentang pria itu juga akan mengganggu konsentrasi selama berkegiatan di sini. Mau sampai kapan aku jadi tontonan anak-anak DreamTeam?
Mungkin, karena responku yang begitu Kak Fani tak bercerita apa-apa lagi. Perempuan di sebelahku itu barulah buka suara lagi ketika dari dalam posko dua orang yang kami bicarakan keluar di waktu yang hampir bersamaan.
"Yugi, kamu nggak bisa giniin aku!" Anita bersuara agak tinggi.
Aku mau tak mau menoleh. Penasaran juga kenapa perempuan itu meneriaki calon suaminya. Kulihat Anita memasang ekspresi marah. Ditariknya lengan bang Yugi hingga lelaki itu berhenti berjalan. Namun, tampaknya si lelaki juga sedang emosi tinggi sebab tangan Anita dihempas begitu saja.
"Kita ini udah mau nikah, Yugi!"
Sekali kali Yugi mengempas tangan calon istrinya itu.
"Yugi!" Anita menjerit lagi.
"Pulang sana!" usir si lelaki.
"Aku datang jauh-jauh buat ngomongin pernikahan kita." Anita menghampiri Yugi yang kini sudah berpindah ke pekarangan dan memeriksa susunan beras.
"Gak ada," balas si lelaki malas. "Gue gak akan kawin. Percuma lo maksa sampai kiamat juga." Saat bicara begitu alisnya ditekuk.
"Mama kamu mau kita menikah secepatnya, Yugi." Anita belum menyerah.
Yugi menoleh pada Anita. Aku lihat tatapan matanya menunjukkan sorot malas, tetapi juga jengkel. "Gue gak bakalan kawin sampai mampus! Lo gak ngerti? Berhenti jadiin Mama alasan. Gue gak akan kawin sama lo atau siapa pun! Mau jadi orang suci gue! Udah sana pulang, jangan bikin gue malu di sini."
Anita yang marah akhirnya pergi juga. Aku yakin perempuan itu merasa usahanya menginap di sini semalam sia-sia. Kasihan juga aku melihatnya. Karena itu aku sempat lama menatapi dia. Namun, Anita tampaknya salah paham. Dia kira aku memandangi dia karena ingin mengejek.
"Awas lo!" ancamnya sambil mengacungkan telunjuk. "Gue bakal pastikan lo nggak bakalan bisa milikin Yugi."
Dia pergi sebelum aku sempat membalas. Ya, sudahlah. Bukan urusanku juga.
Aku kembali sok sibuk menatapi jalanan di depan rumah posko saat bang Renhard datang sambil terkikik-kikik. Pria itu menyenggol lenganku kuat.
"Laki lo mau jadi orang suci. Nggak kawin sampek mampus katanya." Pria itu terbahak sambil memegangi perut. "Tanggungjawab lo, Ser."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream Journey
RomansSerin begitu mengidolakan Yugi, hingga nekat ikut dalam kegiatan sosial yang pria itu gagas, meski tanpa pengalaman. Berada jauh dari rumah, melakukan kegiatan pengabdian, bisakah Serin bertahan? Mampukah dia memetik sesuatu dari perjalanan itu?