Bab 36

2.1K 147 7
                                    

"Heh, Madi!"

Di ambang pintu kamar Bapak dan Ibu, aku berkacak pinggang seraya menegur anak kecil di atas kasur. Dia hanya menoleh, sekejap, kemudian sibuk lagi dengan ponsel hasil meminjam dari Bapak.

"Kaus kakimu yang di teras itu, kalau enggak kau ambil, kubuang, ya!" ancamku dengan mata melotot.

Dia menengok lagi. Kali ini dengan wajah ditekuk. "Ntah apapun Kakak ini? Biarin aja di situ."

"Aku mau nyapu teras! Kaus kaki kau yang kotor itu bikin semak! Ambil atau kubuang!" perintahku.

Malas-malasan bocah itu bangkit dari ranjang. Kakinya dihentak saat berjalan keluar kamar. Kudengar bibirnya menggerutu sampai ke teras.

"Nyapu, nyapu aja. Ngapain ngurusin kaus kakiku!" gerutunya dongkol.

"Pulang sekolah itu kaus kaki disimpan sama sepatu. Awas kau taruh di kamar. Cuci, Sabtu ini!"

Dia memajukan bibir saja. Tak berani membantah. Mungkin, dia takut pada sapu di tanganku. Urusan kaus kaki selesai, aku mulai menyapu. Ini hari Sabtu, jadi aku melakukan olahraga kecil, yakni beres-beres. Tadi rumah sudah kupel, dapur juga, karena itu kini giliran teras.

Saat sedang sibuk menyapu, Bapak pulang. Beliau memicing menemukan aku memegang sapu.

"Hujan ini nanti kayaknya. Tumben," ejeknya sambil tertawa pelan .

Kuabaikan saja cemooh itu. Orang rumah ini memang aneh. Saat aku di kamar saja, mereka protes. Katanya, aku pemalas. Nanti cepat terkena penyakit tua macam gula, osteoporosis dan sebagainya sebab kurang pergerakan. Giliran inisiatif membereskan rumah, malah diledek juga.

"Oh, iya." Bapak yang sudah akan masuk ke rumah menjeda langkah. Dia menatapku serius. "Anaknya yang punya warung kelontong di simpang empat sana," tuturnya.

Aku menaikkan satu alis. "Kenapa? Anaknya masih anak-anak?" kelakarku.

"Umurnya sama macam kau. Bekawanlah kalian dulu. Siapa tahu cocok?"

Mendengar itu aku langsung menghela napas. Entah mengapa, dua bulan belakangan, setelah pulang dari Jakarta, Bapak dan Ibu gencar sekali mencocokkan pria padaku. Apa pulang dari ibu kota wajahku macam orang kebelet menikah, ya?

Hari ini Bapak menyebut anak yang punya warung kelontong. Kemarin, beliau memberi info soal anak rekan kerjanya yang juga masih lajang. Sebelum itu, nomorku bahkan diberikan pada anak teman lamanya. Getol sekali orangtuaku memberi kandidat calon suami belakangan ini.

Apa mereka tahu kalau dua bulan lalu aku bukan ikut kegiatan DreamTeam dan sebenarnya menginap di rumah Bang Yugi? Apa mereka juga tahu kalau aku sudah melepas bang Yugi? Ah, rasanya tidak mungkin. Aku tidak menceritakan apa-apa selama ini.

Bapak masuk ke rumah, aku berpindah ke halaman. Kusapu daun-daun kering dan sampah bungkus jajanan Madisson. Di kegiatan itu ponselku bergetar. Kuperiksa dan seperti biasa bang Yugi yang mengirimi pesan.

Dua bulan sengaja tak kuberi jawaban apa-apa. Aku juga berhenti membalas pesan lelaki itu. Dia menelepon juga tidak aku angkat. Harusnya dia paham kalau aku sudah menyerah pada hubungan kami. Namun, dia seolah tak mengerti dan terus mengirim pesan atau menghubungi.

Kali ini Yugi mengirimi pesan permintaan tolong.

[Sayang, jangan gantungin aku kayak gini. Kamu udah janji mau kasih aku jawaban.]

[Ini udah dua bulan, Sayang. Tolong balas pesan atau jawab telepon aku.]

Membaca itu, aku menghela napas. Bukannya menolong agar aku cepat lupa, dengan begini bang Yugi makin membuat patah hatiku menjadi-jadi dan berlarut-larut.

Dream JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang