Pintu kamar terbuka. Bang Yugi masuk dengan langkah ragu. Tangannya yang mengusapi rambut dengan handuk bergerak kikuk. Dia berdeham beberapa kali, kemudian pelan-pelan duduk di ujung ranjang.
Aku sendiri masih ingin menjaga jarak darinya, karena itu menempel ke kepala ranjang. Aku belum mandi, di balik selimut hanya menggunakan kemejanya bang Yugi.
"Ehem." Bang Yugi berdeham lagi. "Sa--sayang, kamu gak mandi?" tanyanya tanpa menatap.
Keadaan terasa canggung. Tentu saja. Tidak pernah berencana, kami malah kebablasan tadi malam. Padahal, niatku cuma ingin bercumbu. Eh, malah sampai ke kegiatan inti.
Sejak bangun aku terus merutuki diri. Rasanya malu sekali. Berdosa sekali aku ini? Mau bagaimana sekarang? Bagaimana aku mempertanggungjawabkan ini? Bagaimana aku harus menghadap bapak dan ibu setelah ini? Mereka pasti kecewa.
"Sayang?"
Panggilan bang Yugi membuatku berjengit. Kulirik dia takut. Pria itu menghampiri, duduk di depanku.
"Sayang, kamu baik-baik aja?" Kerjap matanya terlihat gamang. Kutebak Yugi juga merasa sama buruknya denganku.
Jujur, aku menggeleng atas tanyanya tadi.
Bang Yugi menarikku ke dalam pelukan. "Aku bingung mau bilang apa, Sayang. Kalau minta maaf, kesannya aku nyesal. Nyesal, sih, tapi aku juga ...."
Dia tak melanjutkan kalimat, wajahku jadi panas. Kucubit perutnya kuat. Pagi ini, pelukan bang Yugi terasa lain. Seolah sudah tak ada sekat lagi di antara kami. Kejadian tadi malam membuat seolah aku merasa sudah mengenalnya luar dalam. Aduh, lancang sekali aku ini. Pasti setelah ini aku akan dilempar ke neraka.
"Ini semua gara-gara anggur," ucapku mencari kambing hitam.
"Aku minta maaf, ya?" Bang Yugi memeluk makin kencang. "Aku janji, aku gak akan lari dari tanggungjawab. Jangan cemas, ya, Sayang."
Padanya aku mengangguk saja. Ucapannya sudah macam laki-laki pemangsa di sinetron dan novel drama. Entahlah nanti dia bisa menepati janji atau tidak. Yang jelas, perasaanku sama sepertinya sekarang. Aku menyesal, aku takut sebab sudah bablas berbuat, tetapi aku juga ....
Harus dilempar ke kawah gunung agaknya aku ini.
***
Karena sedikit tak nyaman kalau berjalan, seharian ini aku cuma bermalas-malasan di sofa apartemen bang Yugi. Menonton, main hape, makan, semua kulakukan di sofa ini. Sampai sore datang dan bang Yugi pulang.
"Ngapain, Sayang?" sapanya sambil menyusul aku duduk di sofa.
"Nonton." Aku membuka telapak tangan ke arahnya. "Tiketku mana?"
Setelah sedikit memaksa. Pun mengingatkan kalau makin lama tinggal di sini bukan hal baik untuk kami berdua, bang Yugi akhirnya mengizinkanku pulang. Tadi pagi aku meminta dibelikan tiket untuk besok.
Bang Yugi memberikan apa yang kumau. Tertulis di tiket aku akan pulang dengan penerbangan pagi besok. Tersenyum tipis, aku mengucapkan terima kasih.
"Abang kalau mau makan, ambil sendiri, ya. Aku malas jalan."
"Kok kamu malas, Sayang?" godanya sambil menekan-nekan lenganku.
"Entah!" sahutku ketus. Dia berusaha menarik pipi, aku mengelak gesit. "Awas, jauh-jauh. Kau mau kita berbuat dosa lagi?"
Seketika dia memasang wajah ditekuk. Pria itu berhenti berusaha mencium, tetapi belum mau mengurai pelukan. Ia terdengar menghela napas.
"Aku gimana kalau kamu pulang besok, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream Journey
RomanceSerin begitu mengidolakan Yugi, hingga nekat ikut dalam kegiatan sosial yang pria itu gagas, meski tanpa pengalaman. Berada jauh dari rumah, melakukan kegiatan pengabdian, bisakah Serin bertahan? Mampukah dia memetik sesuatu dari perjalanan itu?