Bab 24

401 60 5
                                    

Aku baru pulang kontrol dari klinik dengan Bapak, saat menemukan sebuah mobil sedan terparkir di halaman rumah. Bertanya-tanya siapa yang datang, aku berjalan tertatih ke teras. Ketika langkah sudah mencapai ambang pintu, aku mematung.

Di ruang tamu rumah kami, ada Ibu, ada Madisson adikku yang sedang memakan kue dan ....

Lelak itu beranjak dari kursi saat menyadari kehadiranku. Dia menghampiri, mengambil kresek berisi obat dari tangan, kemudian memegangi lenganku.

"Apa kata dokternya?" tanyanya sembari menunduk agar mata kami bisa bertemu.

Aku menahan napas sejenak. Mengembuskan udara, aku berkedip pelan. Bayangan wajahnya tidak hilang. Mata besar yang ujungnya runcing, hidung tinggi dan bibir berisi itu. Semua sama seperti apa yang terakhir aku ingat.

Dia ... benar-benar bang Yugi?

Bang Yugi? Di sini? Di rumahku?

Bang Yugi memapahku ke kursi. Sebenarnya, aku sudah bisa jalan. Luka di lutut dan pergelangan kaki sudah kering, pun sudah tidak ditutup perban lagi. Masalahnya, adanya lelaki berkemeja coklat itu di sini membuat kakiku lembek macam agar-agar.

"Siapa, Buk?" Bapak yang baru masuk bertanya heran pada Ibu. Dia pandangi lelaki yang kini mendatanginya sembari mengulurkan tangan.

"Saya Yugi, Pak. Temannya Serin."

Dia menyalami Bapak, dadaku berdebar entah karena apa. Kupalingkan wajah agar pikiran tidak ke mana-mana.

"Yugi? Teman sekolahnya Serin?" Bapak mempersilakan dia duduk.

"Bukan." Kali ini aku yang buka suara. Kupalingkan wajah untuk memeriksa dia, akhirnya aku yakin ini bukan mimpi. "Yang dokter itu, Pak. Yang waktu aku ikut jadi relawan," jelasku pada Bapak.

Bapak yang duduk di depan kami mengangguk. "Oh, yang dokter ganteng itu. Dari Jakarta?" Matanya melebar tak percaya.

Bang Yugi mengangguk. "Serin bilang dia jatuh. Kebetulan senggang, saya pengen jenguk."

Aku mengusapi telinga yang memerah dan panas. Tuhan, kenapa suaranya masih saja bisa membuat perutku mulas? Dua bulan lebih berusaha mengenyahkan semua hal soal lelaki ini, kenapa Tuhan membiarkan dia datang dan sampai ke sini? Sengaja ingin menyiksaku apa bagaimana?

"Iya, dia belajar naik sepeda kemarin." Bapak mulai bercerita. "Aku sudah bilang tidak perlu. Keras kepala, jatuhlah dia di paret." Bapak geleng-geleng, menatap iba padaku.

"Untung cuma kegores kepalanya, nggak sampai bocor, Dok," tambah beliau.

"Tadi habis kontrol, ya, Pak?"

Bapak menganguk. "Iya. Dokter kliniknya  suruh kemarin. Katanya, biar memastikan nggak ada masalah sama kepalanya."

"Kepalanya kemarin sempat di CT-Scan nggak, Pak?" tanya bang Yugi lagi.

"Saya sudah tanya dokternya, tapi katanya nggak ada cedera serius," tutur Bapak. "Itu pun Serin merepet, katanya saya heboh sampai mau CT- Scan kepalanya."

Bang Yugi menoleh dengan mata melotot.

"Kan cuma kegores," bantahku membela diri. Entah kenapa aku merasa dia sudah akan marah. "Masak sampai geger otak?"

"Dalam kecelakaan, semua hal mungkin terjadi." Nada suaranya agak rendah.

Aku memajukan bibir saja. Malas meladeni dia.

"Jadi, Pak Dokter sudah makan siang?" Bapak menarik atensi bang Yugi dari perdebatan kami.

"Panggil Yugi saja, Pak," katanya dengan senyum. "Kebetulan tadi sudah, Pak."

Dream JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang