Baru saja bangun, aku yang pergi ke ruang tengah langsung disuguhi pemandangan tak senonoh. Barusan, seorang perempuan menyosor bang Yugi. Perempuan itu mencium bibirnya bang Yugi. Mataku yang sebelumnya tak terbuka sepenuhnya, langsung membola.
"Anita!" Di sana, bang Yugi terlihat memasang wajah tak senang. Pria itu bahkan sampai berdiri dari sofa yang membelakangi pintu kamar.
"Kenapa, sih? Ayolah, Gi. Kamu nggak perlu malu. Aku ini bakalan jadi istrimu." Si perempuan yang hanya tampak puncak kepalanya itu membalas.
Aku mengerjap, pelan-pelan paham. Jadi, itu yang namanya Anita. Kenapa dia bisa ada di sini? Kapan datang?
"Gue peringatkan. Jangan lakuin hal kayak tadi lagi. Kita gak ada hubungan apa-apa."
"Nggak ada hubungan gimana? Kita bentar lagi tunangan."
Bang Yugi menghela napas. Ia terdengar lelah. Pria itu bahkan menyugar rambutnya kasar.
"Berapa kali gue harus bilang?" katanya putus asa. "Gue gak mau nikah sama lo. Sekali lagi lo lakuin hal kek tadi, gue janji bakalan lupa kalau lo perempuan." Habis mengatakan itu bang Yugi menoleh ke sini.
Pria itu tampak pucat seketika. Langkahnya tergesa mendatangiku. "Sayang, kamu udah dari tadi bangun?"
Belum juga aku sempat menjawab, perempuan di sofa ikut-ikutan menyusul. Berdiri di depanku, dia bersedekap lengan. Matanya memicing, seolah sedang menilai.
"Jadi, ini cewek yang Tante bilang?" Senyumnya terukir sinis. "Pantes nggak disetujuin. Kampungan banget."
Meski terkejut, jujur saja aku tak begitu sakit hati atas komentarnya tadi. Semua orang punya pendapat dan selera. Mungkin aku tak masuk seleranya.
"Lo jangan mimpi, deh bisa jadi istrinya Yugi," ujar Anita lagi. "Tante Melina udah jodohin kami. Lagian, lo itu nggak setara sama Yugi. Lo itu bahkan bukan sar--"
Ucapan Anita terjeda sebab bang Yugi tiba-tiba berdiri di depanku. Persis di hadapanku, dia seolah ingin menghalau tatapan penuh cemooh Anita padaku.
"Keluar sana," usir lelaki itu membuat mataku membeliak. "Keluar, pergi," ulangnya, kini seraya menyeret Anita hingga perempuan itu meninggalkan apartemen.
Berpindah dari depan kamar, aku duduk di sofa. Aku sedang berpikir. Ternyata, bang Yugi kalau marah memang begitu, ya? Dia tidak teriak, membentak. Aku jadi teringat ketika dulu pria itu menegurku di dekat danau. Sama seperti tadi, tidak perlu sampai menaikkan nada.
"Sayang?" Bang Yugi kembali ke ruang tengah. Dia duduk di sebelah, matanya menelisikku. "Maaf," ujarnya menyesal.
Aku mengangguk saja. Entah kenapa ini terasa bukan apa-apa. Wajar kalau Anita mengamuk dan berakhir menghinaku. Dari yang aku lihat sebentar tadi, dia berharap banyak pada bang Yugi. Sampai rela mencium duluan pula.
Teringat itu, aku menurunkan tatap ke bibir bang Yugi yang bergerak-gerak sebab pria itu masih berusaha menjelaskan. Debar jantungku menyepat. Wajar sekali Anita seperti tadi. Pria ini ... menggiurkan.
Iseng, aku memajukan wajah. Kucuri satu kecupan dari bibir bang Yugi. Persis seperti yang Anita lakukan tadi. Menarik diri, kutemui bang Yugi mematung. Kulakukan satu kali lagi. Hitung-hitung menghapus jejak bibir Anita.
Pria di depanku membeku dengan kerjap mata cepat. Aku mengulum senyum. "Kok enggak marah?" tanyaku jahil. "Tadi dicium Anita marah. Kenapa kucium enggak marah?"
Aku mendekat lagi. Kali ini kupegangi tengkuknya dengan satu tangan. Membawa wajah Yugi mendekat, kali ini sudut bibirnya yang kukecup. Pria itu melepas tawa singkat. Tak dibiarkannya aku jauh, lelaki itu memeluk.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dream Journey
RomansSerin begitu mengidolakan Yugi, hingga nekat ikut dalam kegiatan sosial yang pria itu gagas, meski tanpa pengalaman. Berada jauh dari rumah, melakukan kegiatan pengabdian, bisakah Serin bertahan? Mampukah dia memetik sesuatu dari perjalanan itu?