"Pacarmu ada berapa?"
Pertanyaan itu terlontar dari mulutku begitu saja. Saat ini aku dan bang Yugi sedang istirahat di salah satu warung pinggir jalan, menikmati minuman dingin. Kami baru pulang dari salah satu taman yang terkenal di sini.
Dia yang mengajak pagi tadi. Sekalian menebus rasa bersalah, aku mau-mau saja. Eh, ternyata lumayan menguras tenaga karena kami pergi dengan sepeda motor. Punggungku pegal, karena itu setuju berhenti sebentar.
Pertanyaanku barusan dibalas bang Yugi dengan satu alis menukik. Dia menaruh sebungkus roti yang barusan dibuka.
"Tanya begitu mau apa?" balasnya sambil mengambil satu gorengan dari piring.
"Mau tahu. Pacarmu berapa? Masih ingat enggak?" Aku menopang dagu. Kutatap dia dengan senyum sok antusias.
"Nggak ingat," balasnya terdengar tak peduli.
"Banyak?"
Dia mengangguk. "Foto itu foto lama. Udah gue hapus juga, salah posting." Mata lelaki itu melirikku sekilas, lalu fokus menatap makanan di depannya.
"Foto mana?" tanyaku bingung.
"Yang di IG."
Mengingat dan mencerna sebentar, aku bertanya, "Yang Abang pos dua bulan lalu?"
Yugi mengangguk. "Itu salah pos."
Pelan-pelan senyumku tergelincir. Meneguk jus alpukat, jantungku berdebar. Maksudnya salah posting apa? Kok membuat otakku menyimpulkan sesuatu yang lucu?
"Paling jauh pacaran, ngapain?" Aku masih penasaran.
Menyeka mulutnya dengan tisu, mata Yugi menyipit. "Yakin lo mau dengar jawabannya?"
"Yakin," sahutku cepat.
"Tidur bareng."
Mataku melebar macam habis melihat setan. Mata bang Yugi makin menyipit. "Kenapa? Terkejut?"
Kepalaku mengangguk. "Pacar banyak, udah sejauh itu, Abang banyak pengalaman juga, ya? Suhu keknya. Pemain kata kak Fani."
"Lo sendiri? Mantan pacarmu ada berapa?" Bang Yugi bertanya balik.
"Belum ada," jawabku jujur. "Belum pernah pacaran, enggak ada yang mau keknya."
Lelaki itu mengangguk saja. Merasa cukup beristirahat, kami beranjak dari warung. Sebelum naik ke sepeda motor, aku meregangkan otot. Hal itu tertangkap basah oleh bang Yugi.
"Punggungnya pegal?" tanya lelaki itu.
Kuanggukkan kepala. "Enggak bisa nyender."
Aku naik ke sepeda motor. Sudah siap berangkat, tetapi roda dua itu tak kunjung bergerak. Aku memajukan wajah, menilik bang Yugi.
"Kenapa?" tanyaku dari balik helm.
Bang Yugi menarik kedua tanganku hingga tubuh terdorong ke depan dan rapat dengan punggungnya.
"Nyender aja, biar nggak pegal."
Alisku menyatu. "Beratlah. Nanti Abang capek."
Bang Yugi menahan agar dua lenganku tetap di pinggangnya. "Nggak pa-pa."
"Enggak mau nyusahin," tolakku.
"Nggak nyusahin." Lelaki itu mengulas senyum. "Anggap aja punya sendiri."
***
Saat kami tiba di rumah, hanya ada Madisson di sana. Ibu dan Bapak sedang pergi, katanya menghadiri pesta. Pulang saat larut, aku yang lapar pergi ke dapur untuk membuat telur dadar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dream Journey
RomanceSerin begitu mengidolakan Yugi, hingga nekat ikut dalam kegiatan sosial yang pria itu gagas, meski tanpa pengalaman. Berada jauh dari rumah, melakukan kegiatan pengabdian, bisakah Serin bertahan? Mampukah dia memetik sesuatu dari perjalanan itu?